Ba'da maghrib, aku keluar paling akhir di antara santri putri lainnya. Kalau santri putri sedang keluar, yang putra tidak boleh bergerak, alias harus menunggu dulu.
Tak sengaja, kebetulan aku berbarengan dengan ustadz. Sebenarnya beliau sudah keluar pertama kali, dan langsung ke perpus pribadinya yang ada di samping masjid. Aku keluar masjid bersamaan dengan beliau yang keluar dari pintu ruang perpus pribadinya. Sandalku tak sengaja bersebelahan dengan sandal beliau. Aku tak tahu dan tak sadar. Saat aku memakai sandal, tiba-tiba beliau mendekatiku, dan berbisik,
“Shaveena, geser dikit!”
“Kenapa Ustadz?”, kataku bingung.
“Sandal ustadz ini.”
“Eh, maaf ya Ustadz, saya tidak tahu.”
Aku bergeser sedikit dari posisiku. Beliau pun memakai sandalnya. Aku berjalan di belakang beliau. Lalu beliau mengajakku ngobrol santai.
“Nanti malam saja ya, di jam setoran, tunggu yang lain sudah pada tidur.”
“Iya Ustadz.” Aku menangkap maksudnya, nanti malam, rencana untuk membantu si pengantin. Lalu aku berkata lagi, “Berarti, nanti Veena nanti tidak setoran ya?”
“Iya, libur dulu deh hari ini.”
Yeah, senang sekali hatiku mendengarnya.
“Nanti ustadz ajak rombongan anak ruqyah yang putra”, katanya memberitahu.
“Oh baiklah Ustadz.”
Kemudian aku melanjutkan makan malamku yang sempat tertunda tadi. Lima puluh menit waktu berselang, kumandang adzan yang menandakan waktu isya menggema di penjuru pondok.
Singkat cerita, setelah shalat isya berjamaah, aku menunggu di kantor pribadi yang ada dekat masjid. Sendirian, aku mengaji di sana. Sengaja aku tidak kembali ke kamar, karena khawatir nanti anak-anak yang lain curiga kalau aku ketahuan tidak setoran.
Aku berdiam diri di kantor tersebut hingga jam 10 malam, sampai ada panggilan dari ustadz.
“Sudah nih, sekarang aja gimana?” beliau bertanya.
“Ayo Ustadz.” Kataku mantap.
“Mana sosok pengantin tadi?”
“Dia sudah balik duluan Ustadz.”
“Kenapa?”
“Ga tahu juga.”
“Ya sudah, biarlah.”
Lalu kami pun berjalan menuju gedung asrama putri, bersama dua orang santri putra anggota ruqyah. Seperti ada ikatan batin, setelah kami masuk ke gedung asrama, di lantai satu, turunlah sosok pengantin wanita dari lantai dua menghampiri kami.
Ku lihat ustadz sedang berbincang dengan sosok itu. Namun anehnya, aku tidak bisa mendengar dialog mereka. Aku hanya melihat ustadz sedang komat-kamit berbicara pada sosok pengantin wanita itu. Ibarat TV yang sedang di mute, aku hanya melihat visualnya saja tanpa suara.
'Kok ga ada suaranya? Lagi bahas apa sih mereka?' aku membatin bertanya pada diri sendiri. Ya sudah, biarlah mereka berbincang, aku tak peduli dan tak mau kepo atas apa yang diobrolkan.
Di sisi lain, kakak tingkatku, anggota ruqyah, santri putra, mereka tidak melihat adanya sosok pengantin wanita itu. Karena mata batin mereka ditutup semua. Salah satu dari mereka, sebut saja kak Sayap, dia bertanya padaku,
“Dek, Ustadz lagi ngapain itu komat-kamit?”
“Lagi ngobrol”, kataku.
“Dengan siapa?”
“Ada itu, mbak-mbak.”
Kakak tingkat yang satunya lagi, sebut saja kak Elang, dia menimpali, “Mbak-mbak ndasmu.” Celetuknya tak percaya.
“Lah memang mbak-mbak kok.” Aku menahan tawa mendengar celetukannya.
“Ya sudahlah, terserah dia lah mau gimana.” Komentar kak Sayap.
Kemudian kami semua menaiki tangga, menuju ruangan aula yang ada di lantai dua.
Awalnya aku tak bisa melihat tembok tabir itu. Sesaat setelah ustadz berdiri di tengah aula, lalu memegang bagian tengah, seolah ada tembok yang tak kasat mata, tiba-tiba tembok tabir itu seketika muncul.
Wushh… tiingg!!..
Aku ber wow dalam hati. Wah. Aku sangat takjub melihat tembok yang tiba-tiba muncul itu. Seperti tabir pelindung yang ada di film-film Mnctv zaman dulu. Tabir yang membatasi alam ghaib.
Tabirnya berwarna hijau transparan, bisa tembus pandang dengan ruangan sebelahnya. Hanya aku saja yang melihatnya, kedua kakak tingkatku tadi tak bisa melihatnya.
Lalu ustadz meminta anggota ruqyah, kak Sayap dan Kak Elang untuk membaca ayat al Quran. Entah di surat apa aku tak tahu. Yang jelas ustadz berpesan pada mereka agar jangan sampai kosong pikirannya. Fokus baca ayat itu dalam hati sambil tutup mata. Mereka pun menurut.
Sedangkan aku sendiri bingung mau ngapain di sini. Akhirnya ustadz memintaku untuk baca dzikir yang sudah di dawamkan, yaitu sayyidul istighfar. Aku pun bertanya, berapa kali? Pokoknya baca saja sampai selesai. Aku pun membacanya entah sudah berapa kali, aku tidak menghitungnya. Yang jelas, selama proses itu berlangsung, aku tetap membaca dzikir itu.
Kami semua fokus berdzikir berulang kali. Sementara ustadz kembali mendekati tembok tabir itu, entah apa yang dibacanya, tiba-tiba muncullah pintu kecil di sudut bawah sebelah kiri, di balik tabir itu.
Saat pintunya dibuka oleh ustadz, terdengar suara bising dari sebelah sana. Berisik sekali suara itu. Bunyi yang bergemuruh riuh, ricuh, gaduh, memekakkan telingaku dan sangat mengganggu konsentrasiku.
Bersambung...