Postingan

Rajin Ngaji, Tapi Lisan Gemar Menyakiti?



Suatu hari, ketika kami sedang asyik menikmati makan malam, ada sedikit percakapan yang lumayan menggelitik hati. Ada salah seorang santri yang akhir-akhir ini menjadi pusat perbincangan karena sikapnya yang terlalu bodo amat dengan lingkungan sekitar. Bahkan tak jarang ucapannya menyakiti hati lawan bicaranya, meskipun mungkin ia tidak berniat menyinggung, tetapi perkataan yang disampaikan dengan cara yang kurang tepat bisa saja melukai hati seseorang.

Lalu salah satu di antara kami ada yang bertanya "Bagaimana jika ada orang yang rajin ngaji, malam tahajud-an, pagi duha-an, tetapi sama sekali nggak ramah sama orang lain, nggak peduli, bahkan terkadang ucapannya seperti meremehkan orang lain?" Kami pun hanya diam dan saling pandang, tak tahu harus menjawab apa. Setelah sekian detik salah satu dari kamipun menjawab "Wallahu a'lam, kita kan nggak bisa menilai seseorang hanya dengan apa yang nampak saja. Tapi, mungkin ini bisa jadi bahan evaluasi buat diri kita juga, bahwa ibadah saja belum bisa dikatakan cukup tanpa dibarengi dengan sikap peduli terhadap sesama"

****

Memang, yang kita tahu ibadah adalah hal yang sangat penting dalam hidup seorang Muslim, sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menjalani hidup yang lebih baik. Tetapi, pernahkah kita berfikir bahwa ibadah tidak hanya sebatas sholat, zakat, atau puasa. Ibadah juga tentang bagaimana kita memperlakukan orang di sekitar kita. Kita sering melihat seseorang yang rajin beribadah dan mengerjakan kewajiban agama dengan penuh kekhusyukan, tapi di sisi lain ia sering melukai hati orang lain dengan perkataan atau tindakan yang kurang baik. Apakah ibadah seperti itu masih bisa disebut sempurna? (Wallahu a'lam). Dalam Islam, ibadah itu tidak hanya tentang hubungan kita dengan Allah, tetapi juga bagaimana akhlak kita terhadap sesama. Ini membuat kita bertanya, apakah ibadah kita sudah mencakup semua aspek, tidak hanya pada ritualnya saja, tapi juga dalam tingkah laku kita sehari-hari?

Rajin ngaji itu memang salah satu cara yang bagus untuk beribadah. Bagi seorang penghafal Al-Qur'an, meluangkan waktu untuk mengulang hafalannya adalah hal yang wajib. Lebih lagi jika dibarengi dengan merenungi ayat-ayat-Nya. Itu semua menunjukkan komitmen sebagai seorang penghafal al-Qur'an yang baik.
Tetapi, kalau orang tersebut di sisi lain sering menyakiti perasaan orang lain dengan perkataan yang kasar atau menyinggung, itu berarti ada jarak antara ilmu yang sudah didapat atau ayat yang sudah dihafal dengan perilaku yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kadang, meskipun tidak berniat merendahkan atau menyepelekan kemampuan orang lain, ucapan yang di lontarkan dengan cara yang tidak tepat bisa saja menyakiti. Terutama dalam hal menghafal Al-Qur'an, yang seharusnya menjadi momen untuk saling mendukung dan mempererat hubungan, bukan malah untuk pamer kemampuan atau malah meremehkan kemampuan orang lain.

Islam sangat menekankan pentingnya menjaga lisan. Rasulullah SAW pernah bersabda:
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berkata yang baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini artinya, perkataan kita seharusnya membawa kebaikan, bukan malah menyakiti hati orang lain. Mengaji itu bukan cuma soal baca dan dengar, tapi juga memahami dan mengamalkan apa yang diajarkan. Salah satu tujuan ngaji itu kan untuk memperbaiki akhlak. Kalau orang yang rajin ngaji tapi masih sering melukai orang lain dengan perkataannya, bisa jadi ada yang belum sepenuhnya dipahami dari ajaran yang dia pelajari.

Seseorang yang rajin beribadah namun lupa menjaga lisan seperti sebuah tubuh yang tampak sehat luarnya, tetapi kekurangan jiwa di dalamnya. Perkataan yang tajam, meremehkan, atau menyakiti hati orang lain bisa mengurangi pahala dan makna dari setiap ibadah yang kita lakukan.

Bagi orang yang sering mengucapkan kata-kata yang menyakitkan, ada dua hal yang perlu diperhatikan: Pertama, coba periksa niat dan hati, mungkin kebiasaan itu muncul karena kurangnya pemahaman tentang dampak perkataan kita. Kedua, pentingnya lingkungan yang saling mengingatkan. Sebagai teman yang bijak seharusnya bisa memberi masukan dengan cara yang lembut, mengingatkan bahwa ibadah yang sesungguhnya juga terlihat dari cara kita bersikap terhadap orang lain.

Bagi kita yang melihat situasi seperti ini, pelajaran yang bisa diambil adalah untuk tidak hanya mengkritik, tapi juga berempati. Setiap orang sedang berusaha untuk memperbaiki diri. Tugas kita adalah mengingatkan dengan kasih, bukan dengan celaan yang malah membuat keadaan semakin buruk.

Islam telah mengajarkan keseimbangan, yaitu hubungan kita dengan Allah (hablum minallah) dan hubungan kita dengan sesama (hablum minannas). Rasulullah SAW menunjukkan kalau kesalehan itu nggak cuma terlihat dari ibadah yang kita lakukan, tapi juga dari bagaimana kita berperilaku sehari-hari, terutama dalam menjaga lisan. Beliau pernah bersabda:
"Muslim sejati adalah yang Muslim lainnya selamat dari kejahatan lisan dan tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Sholat yang khusyuk, zikir yang panjang, ngaji al-Quran berjuz-juz atau sedekah besar akan kurang bermakna kalau hati dan lisan kita tidak dijaga. Seperti yang sudah disebutkan sebelumya, Islam mengajarkan bahwa ibadah itu harus seimbang, antara yang ritual dan yang moral. Tanpa keseimbangan ini, ibadah kita jadi seperti tubuh tanpa jiwa—tampak bagus dari luar, tapi tidak punya esensi.

Beribadah dengan khusyuk memang baik, tapi kalau kita hanya fokus pada diri sendiri, tanpa memperhatikan orang lain, ibadah kita jadi kurang lengkap. Memperhatikan orang lain di sini bukan berarti kita mengintai setiap kegiatannya lalu mengomentarinya (julid), tetapi lebih kepada rasa peduli terhadap hal-hal yang seharusnya dilakukan bersama. Misalnya, kalau kita lebih memilih untuk zikir atau sholat sendirian, sementara orang di sekitar kita masih tidur dan tidak diajak untuk sholat berjamaah, itu bisa jadi tanda bahwa kita belum sepenuhnya memahami makna ibadah.

Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk saling mengingatkan dalam kebaikan. Dalam hadis, beliau berkata:
"Barangsiapa yang membangunkan saudaranya untuk sholat malam, kemudian keduanya sholat berjamaah, maka keduanya akan dicatat sebagai orang yang berzikir kepada Allah." (HR. Abu Dawud)

Bayangkan betapa besar pahalanya kalau kita membangunkan teman untuk sholat subuh. Membiarkan teman kita tidur saat adzan berkumandang, sementara kita sendiri sibuk sholat atau zikir, berarti kita kurang peduli. Ini bisa menunjukkan bahwa ibadah kita belum sepenuhnya berdampak positif pada akhlak kita.

Islam tidak hanya mengajarkan kesalehan individu. Islam adalah agama yang mengajarkan untuk saling peduli. Bahkan, Nabi Muhammad SAW berkata bahwa menolong orang lain dalam kebaikan itu lebih besar pahalanya dibandingkan ibadah yang hanya dilakukan untuk diri sendiri.

Maka, mari kita jadikan ibadah sebagai cara untuk tidak hanya mendekatkan diri kepada Allah, tapi juga untuk menyebarkan kebaikan kepada orang di sekitar kita. Jika kita pernah melakukannya, mari merenung lagi makna ibadah kita. Ibadah itu bukan hanya soal hubungan vertikal dengan Allah, tapi juga bagaimana perbuatan kita memberi manfaat bagi orang lain. Kesalehan yang hanya mementingkan diri sendiri tidak akan memiliki makna yang sejati. Kesalehan kita akan lebih bermakna ketika membawa manfaat untuk orang-orang di sekitar kita.
Al-Faqirah

Posting Komentar