"Ada orang yang menghabiskan waktunya
berziarah ke Mekah.
Ada orang yang menghabiskan waktunya
berjudi di Miraza.
Tapi aku ingin menghabiskan waktuku
di sisimu, sayangku.
Bicara tentang anjing-anjing kita
yang nakal dan lucu.
Atau tentang bunga-bunga
yang manis di lembah Mendalawangi."
Soe Hok Gie
Bahagia itu sederhana. Itu paling tidak makna tersirat yang dapat dipetik dari puisi Soe Hok Gie: seorang aktifis tahun 60-an, yang turut andil dalam melengserkan Orde Lama, yang biografinya di-film-kan Riri Reza dan Mira Lesmana dalam GIE, dan yang sosoknya diperankan oleh Nicholas Saputra.
Untuk mendapatkan perasaan bahagia, pikir Gie, tak perlu ke Mekah dan Miraza, cukup dengan menghabiskan waktu bersama kekasih, bicara soal piaraan, bercanda soal kekurangan, berdebat ihwal pendirian, berimajinasi bersama tentang segala hal yang indah. Itu bisa kita semua lakukan di mana saja: di bale-bale di depan rumah, di kursi ringkih di ruang tamu di dalam rumah, di ranjang reyot di kamar di bagian yang lebih dalam di rumah.
Ini menjelaskan kenapa banyak orang sudah menemukan cukup kebahagiaan dengan hanya menyiapkan masakan bagi keluarga, memandikan (kalau perlu juga nyeboki) dan memberi bedak pada anak-anak, menyulap gudang menjadi ruang tamu yang nyaman, dan lain-lain, dan sebagainya.
Belajar dari Soe Hok Gie, untuk menjadi bahagia, orang sebetulnya tak perlu selalu berkaca pada jenis dan bentuk kebahagiaan yang dinikmati orang lain. Tak perlu harus ke Menara Eiffel di Paris, kalau di Monpera saja orang sudah dapat menemukan kebahagiaan. Tak mesti pergi ke Golden Gate Bridge, San Francisco, kalau orang telah menemukan suasana yang sama saja saat ia memanjat jembatan ampera.
Untuk menemu kebahagiaan, kita tak perlu disandera Flexing.
Hal yang kurang lebih sama juga berlaku pada apa yang Gen-Z sebut sebagai healing. Banyak orang berfikir bahwa healing adalah dengan menentukan destinasi-destinasi wisata, dan lalu menguras kocek ke sana. Yang populer dengan sebutan healing adalah berpelesir ke Pantai Kuta, atau berguyur air di Air Terjun entah di mana, atau berpeluh keringat menaiki gunung yang tanahnya sama dan itu-itu juga.
Padahal healing seharusnya dimaknai (paling tidak makna generik) sebagai kondisi psikologis di mana setelah melakukan sesuatu, orang jadi terbebas dari segala beban. Apakah kita menemukan keadaan itu setelah kita pergi ke Atambua atau Wakanda!? Kayaknya enggak, sebab justru setelah itu kita tersiksa oleh kantong cekak dan kondisi bokek, serta makin tersiksa oleh angan-angan kapan bisa healing lagi? Kapan bisa keluar dari siksaan keseharian ini?
Alih-alih, orang bisa healing dengan sarana yang lebih murah. Ya, dengan menulis. Dalam situs alodokter.com disebutkan bahwa menulis dapat meredakan stres, memecahkan masalah dengan lebih baik, menuangkan perasaan sesuai keinginan, memperbaiki suasana hati, dan meningkatkan daya ingat. Hal tersebut selaras dengan hasil penelitian Sunarko, dkk (2018) dalam jurnal penelitiannya yang berjudul Pengaruh “Expressive Writing Therapy Terhadap Penurunan Depresi, Cemas, Dan Stres Pada Remaja”.
Banyak orang telah mendapatkan manfaat positif dari kegiatan menulis. Menulis karenanya dianggap sebagai bagian dari self healing therapy. Dengan menulis, orang dapat menumpahkan segala perasaannya: bahagia, gundah, sedih, benci, bahkan makian sekalipun. Orang juga dapat mengemukakan gagasan, pendapat, kritik, dan segala unek-unek yang mengganjal di kepala.
Pendek kata, menulis itu membebaskan. Menulis itu pembebasan. Sampai-sampai ada seorang revolusioner bernama Subcomandante Marcos yang menganggap senjata bukanlah bedil, atau bom, atau granat, atau senapan, tetapi justru kata-kata.
Sampai di sini kita mesti memaknai ulang kata healing yang ada di benak kita. Jangan-jangan healing yang kita bayangkan itu tidak lebih serangkaian kegiatan yang masih memerlukan healing-healing yang lain? Jika demikian, itu bukan lagi healing, tapi toxic (penyakit) itu sendiri. Karenanya hari ini kita perlu belajar untuk ber-healing dengan cara yang lebih praktis, dengan menulis.
Selamat menulis, eh, membaca!