Farmasi Nestapa

 



Selumbari, aku berkelana mencari obat nestapa. Jiwaku terkoyak tatkala semesta menangis. Di rumah itu, ada sosok tak bersayap yang menerangi sudut ruang yang dahulu membantuku melangkah, menemani ke mana pun aku berada. Yang selalu berada di sampingku tatkala aku terjatuh dan diam termangu. Oh, bahagianya diriku pada hari itu.

Namun, semuanya berubah ketika aku layu tak berdaya berbaring di atas tumpukan debu yang usang. Seperti ada yang menuangkan air merah ke dalam gelas kaca yang indah untuk digenggam lalu diberikan kepadaku dengan wajah senyum yang mendalam. Aku membutuhkan penawarnya. Barang panduan yang mempengaruhi tubuhku tuk berdiri. Aku mencari keberadaannya. Di mana ia berada?

"Wahai sang kekasih, mungkinkah wisata masa lalu dapat kembali kurasakan ketika jari yang rapuh ini tak lagi dapat mengenggam erat tanganmu? Jiwa layuku yang berada dalam ruangan itu sangat menyiksa batinku. Kehadiranmu bukanlah sepahit kehilangan bagaikan seorang modiste yang mencari ujung jarumnya. Kehadiranmu bagaikan cinta yang menyembuhkan rasa sakit di dada." Ujarnya.

"Semesta memang suka mengada-ada pada keputusan yang tak sempat kukira. Ia memang sulit diterka, bahkan alam pun sering berkata lewat badai yang menerpa layaknya diriku yang nestapa. Diri ini memikul banyak amanah dalam wujud tubuh yang rapuh untuk melangkah, penuh suka dan duka pada malam hari yang kian menyiksa." Gerutunya dalam batin.

Malam yang tenang diselimuti dengan kain rentang itu membuat tubuhnya merasa nyaman akan kehangatan yang diberikan kepada seorang yang lemah terbaring di dalam ruangan. Tubuh itu dipeluk erat dan dipisahkan tumpukan batu yang menyatu memisahkan dirinya dengan dunia lainnya. Sayup angin membisikkan kata-kata ke dalam kalbu hingga mengenai jiwanya dalam keadaan yang rapuh.

Ia terbangun dari tidur lelapnya, perlahan membuka mata yang terasa berat menatap kekejaman dunia. Mimik wajah yang tersenyum menutupi keping-keping kaca kesedihan. Terlena akan kasih sayang yang diberikan walau sebenarnya memang ia sendiri yang menginginkan harapan semu yang tak kunjung datang. Hampa tanpa harapan.

Suasana malam yang tenang itu membawanya menuju bejana yang dipenuhi senyawa oksidan. Ia menengadahkan kedua tangan dan mengambilnya dengan perlahan, dimulai dari jari-jari yang rentan terluka karena penuh akan harapan.

Perih dirasakan ketika airnya mengenai ruas yang terluka. Namun, ketegaran untuk menahannya adalah sebuah keharusan karena itu hanya luka kecil dari sebagian luka-luka besar lainnya yang akan datang menghampiri tanpa mengenal waktu dan tempatnya, situasi dan kondisinya, karena ia bisa melukai kapan saja dan di manapun ia berada.

Ia kembali ke dalam ruangan. Mengenakan kain sutra, menghamparkan sajadah, mengangkat kedua tangan seraya berkata kepada Tuhan, “Oh Tuhan, berikanlah kepadaku sebuah mawar indah yang dapat menyembuhkanku dari nestapa. Engkaulah Sang Pemberi mantra keajaiban kepada siapa yang Kau inginkan. Aku hampa, tak bersuara, sunyi di dalam sepi tanpa sesiapa yang menemani. Tunjukkanlah kepadaku secercah cahaya-Mu kepada batin gelapku yang meronta mencari jalan keluar dari masalah ini, Ya Tuhanku”.

Tuhan menjawab, “Wahai Engkau yang dirasuki nestapa! Sunyi menerpa menembus jiwa, jangan kau berkata tak ada sesiapa yang menemanimu di tempatmu berada. Sejatinya, Aku bagaikan urat nadi yang ada dalam tubuhmu. Bagaikan udara yang berhembus ke mana pun Aku mau. Bagaikan obat yang menyembuhkan lukamu itu. Jangankan hanya menerangi batin gelapmu, nestapa yang kau sebutkan itu akan Kuterpa dengan mudahnya. Wahai Engkau jiwa yang meronta! Kuberikan keteguhan hati agar kau mengetahui bahwa mawar indah itu adalah sosok yang selama ini berada di dekatmu (Ibu). Dia yang merawatmu. Dia yang menghangatkanmu. Dia yang memberikan keharuman untukmu. Dia juga yang menyembuhkanmu dari nestapa yang menyengat itu. Maka, jangan kau layukan mawar itu”.

Pecinta Goresan

Posting Komentar