Luka itu ada dan menyala-nyala
Bagai api neraka yang abadi selamanya
Aku tak ingin memadamkannya
Aku tak pula berusaha menyembunyikannya
Dan tidak juga mengatakan aku memaafkannyaKubiarkan luka itu tetap ternampak dengan culas,
Berdiri tegak sebagai kekuatan, bahwa sejak saat itu aku bersumpah dan meludah.
Aku tak berbesar hati untuk mendoakan kebaikan dan kebajikan.
Aku tak berbesar hati untuk mendoakan kebaikan dan kebajikan.
Amarah mencakar-cakar dinding langit yang turun hujan, yang airnya jatuh mengalir di bantal, yang airnya gugur di tengah keheningan bintang-bintang.
Kunyatakan bahwa aku dilukai hingga hampir mati.
Bila dinyatakan aku terlalu lemah hingga berlebihan memuja luka berabad lamanya, maka tiada lain pilihanku selain berujar,
Semoga kelak kau rasakan sakit tak terkata, mencekik jiwa hingga jerit yang menggema di kepala dan di dada.
Kelak, kau juga harus mencoba, mati-matian untuk memilih tak mati.
Kini kuhadapi dan kuselesaikan luka itu
Yang perlu dilakukan hanya menerima betapa pedih dan hinanya.
Yang perlu dilakukan hanya menerima betapa pedih dan hinanya.
Hingga kelak terbiasa, lalu sembuh sendirinya.
Bila masa itu tiba, ketika hati sudah lega, akan didatangkan pelipur lara.
Menangis boleh saja, hanya jangan berlama-lama.
Waktu tak menyembuhkan bila tanpa kelapangan dada untuk sekedar menerima dan memilih beranjak walau terpincang.
Tanpa itu semua, waktu akan terus membawa luka, dan menutup kemungkinan bahagia yang bisa saja menyapa.
Wahai diriku....
Mulai sekarang, lepaskanlah, beranjaklah!
Taman yang hangus harus segera diurus.
Ditebarkan benih-benih kebangkitan dan pengampunan kepada diri sendiri.
Lalu nanti, berbungalah ia elok berwarna-warni.
Siapa yang memandang tentulah tertarik hati untuk mengetuk pintu menawarkan diri.
Entah terpantul dari mata yang teduh
Entah terpantul dari mata yang teduh
Atau tutur yang luluh
Bisa jadi pula, jawaban doa-doa yang utuh.
Asal jangan berlama-lama
Sebentar saja, menangislah sepuasnya. Tak apa.
@morinddd