Tepat di hari
ahad malam, ketika batin dan pikiran kalut oleh rasa lelah yang begitu mendera, aku dan beberapa yang lainnya ditimbali ke ndalem Bu Nyai.
Alasannya jelas untuk diinterogasi habis-habisan. Karena akhir-akhir ini, setoran
seperti nggak bertambah-tambah dan muroja’ah kacau.
Satu persatu menghadap Bu Nyai untuk ditanya kabar hafalannya. Ada yang sudah mendapat separuh hafalan al-Qur’annya, tetapi yang bisa digelondong (baca: Simak) hanya beberapa juz bagian depan. Ada juga yang sudah hampir selesai ziyadah justru hanya juz bagian belakang saja yang mampu ia baca gelondongan. Jika ditanya kapan bisa mengambil sanad? Bingung harus jawab apa. Mungkin karena sudah terlalu lama menjadi orang bingung, sehingga hanya senyuman pasrah dan diamlah yang mampu mewakilkan jawabannya.
Setiba
giliranku, Beliau mulai melantunkan beberapa ayat dari al-Qur’an dengan
merdunya dan aku harus siap melanjutkan ayat berikutnya. Meskipun dengan merangkak-rangkak
sebab lidah terasa kelu, akhirnya sampai juga di penghujung kata “shodaqallahul’adzhim”.
Sejak hari itu, hati bagai diselubungi rasa gundah. Bahkan terasa ngilu seolah
ada cambuk yang menghantam kuat tepat di sanubari. Nasihat Bu Nyai kala itu
masih terngiang jelas di kepalaku.
“Nakrir rek! beduso gek” dawuhnya
dalam dialek Palembang.
“Katanya mau sanad-an, kok muroja’ahnya
kapan-kapan. Jangan sampai sesuatu yang hukumnya mubah mengalahkan sesuatu yang wajib”
Bu Nyai kembali menghunjamiku dengan sindiran-sindiran halus
Belakangan ini, aku memang banyak menghabiskan waktu untuk membaca buku. Bahkan untuk muroja’ah, hanya dilakukan ketika mood sedang bagus saja. Padahal, ujian paling berat bagi penghafal Qur’an itu hanya satu, males muroja'ah. Males itu kadang muncul ketika sedang badmood, pun bisa karena maksiat. Mau percaya atau tidak, yang jelas maksiat memang tidak langsung menghilangkan hafalan seseorang. Tetapi, ia menjadikan seseorang lalai dalam memuroja’ah hafalannya. Sehingga hafalannya semakin lama akan semakin berkurang, bahkan perlahan bisa saja hilang (Allohumma ba’idnaa).