Di Balik Tabir

 "Mau dengar kisahku tidak?" Kataku memulai obrolan saat kami sedang nongkrong di sebuah kafe.

"Apaan? Ayo ceritakan padaku", jawabnya penasaran, dan selalu penasaran.

"Kisah tentang pengalamanku yang terpaksa jadi indigo".

Entah sudah berapa lama kami bercerita tanpa henti, topik sudah ke sana-sini, pernyataan barusan begitu saja keluar dari mulutku.

Ayesha adalah teman baikku yang sudah ku kenal hampir setahun. Dia juga orang yang bisa dipercaya. Jadi tak masalah kalau aku bagikan pengalaman ini untuk menjawab rasa penasarannya itu. Kami sudah lumayan akrab dan seringkali sharing berbagi kisah pengalaman masing-masing.

"Wah, menarik nih, gimana ceritanya?", tanya Ayesha antusias. Ia langsung memperbaiki posisi duduk untuk menyimak cerita dengan seksama.


***


5 tahun lalu, waktu kelas 1 SMA.

Aku tinggal di sebuah pondok pesantren yang jauh dari kota. 

Malam itu, setelah setoran jam 00.00 aku kembali ke kamar untuk mengerjakan PR Bahasa Arab yang harus dikumpul besok. Aku menyelesaikannya hingga larut malam sekitar jam 01.00. Setelah itu aku istirahat sejenak, bersih-bersih badan kemudian aku pergi tidur.

Pukul 03.00 aku terbangun dari tidur. Perlahan ku buka mataku, sontak aku kaget, sekujur badanku bergejolak tersentak karena dikejutkan oleh sosok misterius yang sedang berdiri di depanku. Sosok makhluk asing dari alam lain, berupa gadis cantik berpakaian pengantin, dengan gaun putih bersih bermotif bunga putih. Sosok misterius itu berdiri memandangiku sambil tersenyum tipis. Aku bergidik dan spontan membenamkan kepalaku bersembunyi di balik selimut. Lalu sosok itu memanggil namaku.

"Shaveena"...

"Shaveena"...

"Shaveena"...

Dia memanggilku tiga kali dengan suara pelan dan berjeda. Seperti hendak mengajakku bermain.

Perlahan aku membuka mata, ku lihat dia masih berdiri di sana sambil tersenyum tipis ke arahku.

Walau dalam kondisi gugup dan tegang yang mencekam, aku mencoba untuk bersikap tenang padahal sebenarnya merinding. Aku tidak mau berteriak apalagi menunjukkan ekspresi takut. Aku hanya ingin bersikap cuek saja pada sosok yang bukan manusia apalagi seorang santri.

Mana ada santri pakai baju pengantin?, pikirku, itu sudah jauh sekali.

Ah ini bukan orang sungguhan, bukan berasal dari orang sini.

Aku bertanya-tanya dalam hati,

Siapakah dia?

Kenapa tiba-tiba aku bisa melihatnya?

Kenapa dia bisa tahu namaku?

Kenapa dia memanggilku?

Darimana dia muncul?

Berjuta tanya memenuhi otakku.



Tak lama kemudian, aku bangkit sambil melirik ke arahnya sekilas, lalu aku memalingkan wajah dari tatapannya.

Bergegas aku menghampiri temanku yang berada di sudut ranjang dekat pintu.

Kamar kami terdiri dari 10 ranjang tingkat dua. Total ada 20 ranjang, tetapi tidak semuanya terpakai. Ada beberapa ranjang yang kosong.

"Eyden! Eyden! Bangun Ey!" Kataku setengah panik sambil mengguncangkan tubuhnya yang mungil nan kurus, terasa tulangnya yang hanya dilapisi kulit dengan daging yang tipis. Untunglah dia langsung bangun lalu berkata dengan heran,

"Kenapa kau ini? Kok tumben membangunkan ku? Bukankah biasanya aku yang selalu membangunkan mu?"

Aku mencari-cari alasan untuk menjawabnya dengan perasaan merinding, juga takut, rasanya ingin segera pergi dari kamar dan meninggalkan sosok itu. Otakku tak bisa berpikir jernih untuk menjawabnya. Entah kenapa yang terpikir hanyalah mandi.

"Ey mandi yuk", pintaku padanya.

Sambil mengerjapkan mata, dia langsung mau mengikuti ajakanku.

Kami pun menyusuri koridor asrama yang bercahaya redup remang-remang. Koridor yang gelap, kosong, hampa lagi sunyi.

Karena aku penasaran lalu aku menoleh ke belakang. Ternyata sosok pengantin itu ada di belakangku dengan berjarak 1 meter. Dia mengikuti ku, dengan berjalan tanpa kaki, seperti melayang. Waktu dia berdiri kulihat kakinya masih ada menginjak lantai, namun saat berjalan kakinya sudah tak nampak. Aku bergidik ngeri melihatnya lalu buru-buru menarik tangan Eyden untuk segera ke kamar mandi.

Sesampainya di sana, betapa terkejutnya aku di sana telah berdiri sosok perempuan tua dengan wajah yang galak. Membawa tongkat, memakai kain kemben seperti adat Jawa.

Aku tersentak melihat wajahnya yang meyeramkan walau tanpa luka-luka. Raut wajahnya nampak sangar, membuatku bergidik ngeri.

Melihat gelagatku, Eyden yang ada di sampingku berkata,

"Hoi kau ini kenapa?! Seperti melihat hantu!"

" A, anu, tidak ada apa-apa", aku menjawab dengan gugup.

Nenek itu berdiri di tengah koridor kamar mandi 10 pintu yang saling berhadapan. 5 kamar mandi shower, 5 lagi kamar mandi dengan kloset jongkok dan bak mandi.

Aku memilih kamar mandi nomor satu yang ada kloset dan bak mandi. Sedangkan Eyden sudah berjalan lebih dulu ke kamar mandi nomor dua, di sebelahku.

Nenek itu berdiri di tengah-tengah dekat pintu. Saat aku hendak masuk ke kamar mandi, badan nenek itu tiba-tiba berputar slow-mo menoleh ke arahku dan menatapku tajam. 

Aku terkejut dan ketakutan melihat gerakan dan wajah yang sangar itu menatapku. Bulu kudukku berdiri, hawa panas, sepi sunyi, aura magis yang kental, membuatku merinding.

"Permisi ya Nek", ucapku sambil menunduk tak berani menatap wajahnya. Kemudian aku masuk ke dalam kamar mandi.

Tak lama aku mandi, tiba-tiba pintu kamar mandi ku digedor dengan keras, dengan sekali hantaman yang hebat.

GEDEBUM!!!

Pintu seperti hendak didobrak.

Aku terkejut sontak berteriak, karena ku pikir itu Eyden yang sudah selesai mandi.

"Hoi kenapa Ey?!", tanyaku dengan nada marah. Pasalnya baru saja mandi sesaat sudah di gedor dengan keras.

"Kau itu yang kenapa?!", Eyden yang mendengar pun bertanya balik dengan nada sedikit marah karena kaget mendengar teriakanku.

"Eh, anu, tidak apa", jawabku gelagapan. Lalu aku bergegas melanjutkan mandi.

Eyden yang sudah selesai lebih dahulu, kemudian mengetuk pintu kamar mandi dengan pelan. Dia sudah menungguku di depan pintu.

Kreeekk...

Perlahan ku buka pintu setelah selesai mandi. Lagi-lagi aku tersentak melihat nenek-nenek tadi sudah berdiri di samping Eyden.


Bersambung...

x

Posting Komentar