Ujian Keikhlasan

Setiap orang pasti pernah merasakan kecewa ketika pengorbanannya terhadap sesuatu tidak dihargai atau bahkan dibalas dengan keburukan. Padahal pengorbananya itu dilakukan dengan kerelaan dan keikhlasan. Begitu pula saat pekerjaan atau kegiatan yang dijalani seseorang secara rutin dan menjadi aktifitas kesehariannya tiba-tiba menjadi sesuatu yang membosankan sehingga timbul rasa lelah dan berkeluh kesah atau bahkan ia ingin menyudahi semuanya.

Kecewa, bosan, lelah dan berkeluh kesah sebenarnya manusiawi, karena beberapa sifat ini memang telah menjadi tabiatnya manusia. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Ma’arij ayat 19-21 berikut:

إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا - إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا - وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا 

Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah dan apabila ia mendapat kebaikan (harta) ia amat kikir.”  

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa di dalam ayat-ayat ini Allah menerangkan tabi’at manusia yaitu memiliki sifat-sifat takut, curang, pengecut dan selalu berkeluh kesah. Jika ditimpa bencana dan malapetaka ia selalu mengeluh dan berputus asa, jika mendapat keuntungan atau kebaikan ia amat kikir, pelit dan bakhil (Ibnu Katsir, 2003, hlm. 209).

 

Namun, apakah sifat-sifat buruk yang menjadi tabi’at manusia tersebut kita anggap saja sebagai sesuatu yang wajar sehingga tidak ada usaha untuk menghilangkannya? Tentu saja tidak. Sebagai orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, sifat-sifat buruk tersebut tentunya adalah bagian dari ujian Allah yang diberikan kepada hamba-Nya. Karena tidak setiap orang mampu memulai semua amal ibadahnya dengan keikhlasan. Maka, jangan heran jika amal ibadah itu akan diuji di bagian tengah perjalanan ibadah atau bahkan di bagian akhirnya. Sebagaima firman Allah dalam surat al-Ankabut ayat 2:

 اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يُّتْرَكُوْٓا اَنْ يَّقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ 

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (hanya dengan) berkata, “Kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji?” 

Untuk itu, sudah seharusnya setiap orang yang beriman, memeriksa keikhlasan amal ibadahnya atau bermuhasabah, mulai dari sebelum melaksanakan, saat melaksanakan maupun setelah melaksanakan. Dalam hal ini al-Ghazali menawarkan enam tahapan dalam proses muhasabah. Pertama, Musyarathah yaitu menetapkan syarat kepada jiwa untuk senantiasa berada pada jalan yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Kedua, Muraqabah  yaitu perhatian yang terjaga dan terarah hanya kepada Allah. Ketiga, Muhasabah adalah perhitungan seorang hamba terhadap setiap gerak-gerik dan diam yang telah dilaluinya,. Keempat, Mu’aqabah yaitu memberi Sanksi kepada diri atas kemaksiatan. Kelima, Mujahadah adalah kesungguhan seorang hamba dalam melakukan berbagai amal ibadah. Keenam, Mu’atabah yaitu menundukkan nafsu yang cenderung kepada keburukan (Al-Ghazali tt, hlm. 381).

Mengapa pembelajaran tentang ikhlas? Karena memang setiap orang selalu belajar untuk menjadi hamba yang ikhlas, maka jangan heran jika dalam pembelajaran itu banyak ujiannya. Sedangkan yang mengetahui apakah amalan itu benar-benar dilakukan dengan keikhlasan hanya Allah SWT semata. Maka, setiap orang yang beriman sudah semestinya selalu berdoa memohon pertolongan Allah, agar senantiasa diberikan kemudahan dalam menghadapi ujian dalam pembelajaran ikhlas ini. Sehingga pada akhirnya Allah akan memudahkan kita untuk selalu berusaha ikhlas dalam menjalani setiap amal ibadah, baik sebelum, saat melaksanakan maupun setelah  melaksanakannya. 

Posting Komentar