“Bangsa yang besar adalah
bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya”, Ir. Soekarno.
Kata-kata bijak itu
terdengar klise, bahkan untuk menghargai seorang Bung Tomo sebagai pahlawan
saja, Pemerintah kita belum tentu bisa. Padahal, siapa yang meragukan
kepahlawanan Bung Tomo, tokoh yang selalu dikaitkan dengan heroisme arek-arek
Suroboyo, aktor di balik peristiwa 10 November 1945? Sementara penghargaan
saja tak cukup.
Yang jauh lebih
penting adalah meneladani perjuangan dan militansi mereka dalam menegakkan
cita-cita kemerdekaan dan mengisinya dengan pembangunan.
Membawa Indonesia ke
alam modern, maju, sejahtera untuk semua rakyatnya, memang bukan hal yang mudah,
tapi bukan berarti mustahil. Sebagaimana dulu ketika para pejuang
mencita-citakan dan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Kunci keberhasilannya
adalah kerjasama semua eksponen rakyatnya. Semua menyumbangkan hal terbaik yang
mereka bisa. Sehingga para pemimpinnya hidup sederhana dan amanah.
Namun, alih-alih
memberikan teladan perjuangan, tidak sedikit dari mereka yang saat ini berada
di puncak kekuasaan malah menyia-nyiakan amanah itu. Berbalik arah untuk memperteguh
posisi dan memperkaya diri dengan kelompoknya. Tidak cukup sampai di situ,
mereka juga gemar mempertontonkan kemewahan, flexing, sehingga
kedekatannya dengan rakyat sebatas waktu pemilu. Setelah itu, lupa janji-janji
yang diucapkan bagai kacang lupa kulitnya.
Sementara, masyarakat
awam pun seolah tak mau kalah berlomba dalam fenomena paradoksal, yaitu fenomena
yang muncul dalam bentuk pernyataan atau situasi yang kelihatannya bertentangan
dengan logika atau intuisi manusia. Di tengah cekikan kemiskinan, tidak sedikit
yang bergaya hidup boros dan manja. Lebih suka menuntut hak daripada mendahulukan
kewajiban. Tak segan-segan berdemonstrasi, masih baik bila tidak diiringi
tindakan anarki. Lalu, mau dibawa ke mana bangsa ini?
Indonesia harus
MILITAN. Siapapun itu apakah rakyat biasa atau pemimpinnya yang harus tahan
diuji. Rakyat harus tahan emosi dan Pemimpin harus tahan godaan korupsi. Mereka
harus tahan hidup menderita, jauh dari hidup manja, harus bisa berdiri di kaki
sendiri, punya semangat juang yang tinggi dan berorientasi pada prestasi.
Indonesia yang
MILITAN akan timpang tanpa dibekali ilmu pengetahuan. Militan harus diimbangi dengan
penguasaan ilmu, atau Intelek. Militansi yang membabi buta ibarat pejuang dengan
mata tertutup yang mudah menjadi target musuh. Sebaliknya, militansi dengan
ilmu, akan menciptakan sumber daya manusia yang Kompetitif. Para pejuang yang
seperti itu membuktikan bahwa mereka bisa berkompetisi baik, atau juga sehat, dalam
laga peperangan maupun ruang diplomasi.
Sayangnya, kompetitif
yang dilahirkan mulai luntur tergerus zaman. Di sinilah perlu upaya untuk kembali
menggerakkan daya kompetisi bangsa, menciptakannya, dan mewariskannya dari
generasi ke generasi. Inilah daya Regeneratif. Indonesia yang MIKR (Militan,
Intelek, Kompetitif, dan Regeneratif) adalah komunitas yang akan menjadi solid
bagi kejayaan bangsa.
Sejarah mencatat, bahwa langkah menuju Indonesia MIKR sudah ditorehkan para pejuang dahulu. Bagaimana sepak terjang seorang Soekarno dan Muhammad Hatta menuntut serta memperjuangkan kemerdekaan. Bagaimana intelektualitas seorang Agus Salim dalam mengatasi persoalan masyarakatnya. Bagaimana perjuangan Syafruddin menyelamatkan kemerdekaan dalam kondisi darurat. Bagaimana melumpuhkan tentara kolonial dengan bergerilya seperti yang ditunjukkan seorang Jenderal Sudirman.
Sayang, orang Indonesia mudah melupakan
sejarah yang padahal harus selalu ada yang menceritakan kisah perjuangan para
pejuang bangsa yang mengingat bahwa perjuangan masih panjang. Ketika Indonesia
telah terbebas dari peperangan penjajahan, maka tugas Indonesia selanjutnya adalah
memerangi orang-orang Indonesia itu sendiri sampai sekarang ini.
Indonesia MIKR.