Detik-Detik Pertemuan
Kalau kamu bertanya masalah pintu kecil itu berwarna apa, bentuknya seperti apa? apakah sama seperti pintu pada umumnya? Mungkin juga berwarna cokelat?
Tidak. Pintu alam ghaib itu tidak memiliki warna. Seperti lubang kosong yang transparan. Berbentuk kotak kecil yang ada di sudut kiri tembok tabir.
Ketika ustadz membuka portal alam ghaib, aku terperanjat melihat tabir sekaligus dengan pintunya.
Saat pintu itu muncul, terdengar suara yang sangat berisik dan mengganggu konsentrasi ku.
Konsentrasiku tiba-tiba buyar. Pikiranku jadi kacau. Aku ngeblank, tadi sampai mana ya?, batinku. Seperti ada telepati, ustadz pun menoleh dan menatapku tajam, sedikit melotot seolah menyuruhku agar terus berdzikir, jangan berhenti, demikian maksud tatapnya.
Segera aku langsung membacanya lagi dari awal karena takut sekali.
Setelah itu beliau pun masuk lewat pintu kecil itu dan seketika suara berisik tadi jadi hilang, berganti sunyi, hening. Aku berbisik pada diri, kira-kira apa yang dilakukan beliau di sana. Aku bisa melihatnya, tapi kali ini tak bisa mendengarnya. Suaranya sudah hilang. Seolah TV yang sedang dimute.
Lima menit kemudian, beliau keluar dari pintu kecil itu sendirian, dan bertanya padaku,
“Di mana yang tadi itu berada?”
Aku mengerti, maksudnya sosok pengantin pria yang tadi aku temui.
Aku pun menjawab, “Ada di tangga Ustadz.”
“Kok gak ada ya, coba kau saja yang mencarinya.”
Aku terperanjat dan bertanya ragu, “Apa Veena masih baca dzikir, Ustadz?”
“Tak usah, masuk saja, aman kok.”
Perlahan aku mulai masuk lewat pintu lubang kecil di sudut kiri bawah tabir untuk mencari sosok pengantin pria.
Selangkah demi selangkah, perlahan aku melewati tangga terlarang itu lagi untuk kedua kalinya,
Deg,
Ku lihat sosok pengantin pria itu ada di tangga. Batinku bergumam, 'Hmm ini ada, ustadz tadi bilang tak ada.'
Perlahan aku mendekatinya dan berkata pada sosok itu,
“Eh, em. Anu, di sana sudah dibuatkan pintu, mau keluar tidak dari sini?”
Sosok pengantin pria itu pun bangkit berdiri dan berjalan mengikutiku hingga keluar melewati pintu lubang kecil di sudut kiri bawah tabir.
Di balik tabir, sosok pengantin wanita telah berdiri di sana menunggu sang kekasihnya.
Senyum bahagia terukir di wajah mereka walaupun sebagai sosok hantu. Tapi tidak nampak menyeramkan. Mereka berpelukan melepas rindu di depan mataku.
Aku pun turut bahagia, akhirnya sepasang pengantin ini bertemu kembali setelah sekian lama terpisahkan.
Tak lama kemudian, pintu kecil tadi sudah hilang, portal alam ghaib telah ditutup kembali oleh ustadz. Beliau bertanya padaku, “Sudah nih, apa masih ada urusan lain?”
“Tidak ada lagi Ustadz, hanya ini saja.”
“Ya sudah.”
Dua orang santri putra, anggota ruqyah yang ikut menemani sedari tadi, kemudian diminta ustadz untuk menyelesaikan bacaannya.
“Sudah cukup, sudah selesai.” Kata ustadz pada mereka.
Mereka pun membuka mata, dan menatapku sinis. Aku balik menatapnya tajam dengan maksud ‘kenapa?’ mereka hanya tertawa melihat ekspresiku.
“Ya sudah Veena, masuklah ke kamar, tidurlah, tidak usah setoran dulu, hari sudah larut malam.” Ustadz berkata padaku, sedangkan dua santri putra itu tetap harus setoran. Mereka pun keluar dari gedung asrama putri. Aku balik kanan menuju kamar. Bubar jalan.
Saat itu juga aku langsung tidur, karena begitu lelah sekaligus rasa kantuk yang tak tertahankan.
Sebelum itu ustadz juga berpesan, besok pagi jangan lupa minta kapsul bidara. Minta saja dengan kak Sayap di posko ruqyah.
Esok harinya, saat bangun tidur, aku bersyukur karena aku sudah tak melihat apa-apa lagi. Mata batinku telah ditutup.
Setelah belajar kitab pagi, aku ke ruang ruqyah menemui kak Sayap untuk meminta kapsul bidara. Aku disuruh untuk langsung minum di sana, jangan dibawa keluar.
Glek,
Satu kapsul bidara yang di produksi sendiri oleh tim ruqyah, telah masuk ke tenggorokanku.
Tubuhku terasa enteng setelah meminumnya, tidak ada lagi beban di badan. Sebelumnya aku merasa telingaku seperti tertutup. Setelah minum kapsul itu jadi plong.
Kemarin, saat aku diikuti oleh pengantin wanita, aku sempat bertemu dengan kak Panji (anggota ruqyah santri putra) lalu aku melaporkan padanya.
“Kak, tahu tidak? Aku sedang melihat hantu.”
“Hah? Kok bisa?”, jawabnya terkejut.
“Ga tahu nih, hantunya ngikutin aku.”
“Mana?”, katanya panik.
“Sekarang dia ada di sampingku.”
“Oh mungkin Ustadz sedang mengujimu.”
Aku jadi teringat dialog bersama ustadz sore kemarin, sesudah setoran, saat aku pulang paling akhir. Beliau berkata bahwa santri putri lainnya sudah pernah dibukakan mata batinnya. Baru beberapa saat langsung bereaksi. Semuanya menangis histeris seperti orang ketakutan dikejar hantu. Beliau pun tak tega karena kasihan. Makanya tak ada yang bertahan lama dibukakan mata batinnya. Baru saja dibuka, sudah terlihat reaksi mereka ketakutan, lalu ditutup lagi. Tidak sampai satu jam, ada yang hanya beberapa menit. Sedangkan aku seharian full sampai malam. Karena terlihat reaksiku tenang, nampak biasa saja.
Padahal sebenarnya aku panik. Tapi aku punya prinsip. Kalau aku takut sama hantu, mereka bakal makin menakutiku. Pokoknya jangan ditunjukkan ekspresi takut, cuek saja, pura-pura tidak tahu. Bila perlu ajak berteman.
Makanya saat aku melihat itu, aku melatih diri sendiri supaya jangan takut. Padahal aku sangat panik, terperanjat saat melihatnya. Untunglah yang aku lihat itu bukan sosok yang sangat menyeramkan, misal mukanya hancur. Kalau seperti itu kejadiannya, sudah dipastikan aku pasti akan nangis juga.
Berbicara tentang hantu, setelah aku meneguk kapsul bidara, kak Sayap dan kak Panji pun menceritakan pengalamannya yang sama denganku. Tepat di hari yang sama, di waktu yang sama, di sisi lain, sementara itu,
"Kau tahu tidak? Kami kemarin diajak Ustadz ke kamar Jenazah."
Bersambung...