Sebelum gedung ini resmi dan sempurna dibangun, bentuknya hanya berupa tanah kosong milik pondok yang terdiri dari bangunan seadanya, dikelilingi semak belukar hutan belantara.
Sosok pengantin pria itu memulai cerita.
Kami berdua sempat membangun rumah di area ini. Ketika proses pembangunan gedung baru itu dimulai, rumah kami pun digusur. Kemudian kami protes ke ustadz, dan bertanya,
“Kenapa rumah kami digusur?”
“Ini mau dibangun gedung, kalau sudah jadi, nanti kalian tinggal di dalam gedung saja.”
Sebelum bangunan ini selesai secara utuh, kami dibuatkan ruangan kecil ukuran 3x3 di samping kelas sebagai tempat tinggal kami. Setelah bangunan ini selesai, barulah kami pindah ke gedung.
Suatu ketika aku sedang keluar mau cari sesuatu, aku pergi sendirian meninggalkan istriku. Pada saat aku mau pulang, melewati tempat yang biasa aku lalui, tiba-tiba aku tak bisa lewat. Seperti ada tembok besar yang menghalangi. Setelah ku lihat-lihat lagi, ternyata telah di pasang sesuatu. Padahal sebelumnya kami bisa berlalu-lalang di area itu.
Awalnya semua makhluk berkumpul di satu gedung. Kami hidup bahagia, aman, damai dan sentosa. Kemudian setelahnya ada konflik yang terjadi di antara bangsa kami. Sebagian makhluk sering bertengkar satu sama lain karena suatu persoalan. Lama-kelamaan, akhirnya ustadz memisahkan kami agar tidak terjadi kekacauan. Sebagian kelompok dipindahkan di sisi lain, dan sebagiannya lagi di sisi sebelah sana.
Ruangan aula di dalam gedung asrama putri di pisahkan jadi dua. Dipasang sekat, seperti tembok yang tak kasat mata, berada di tengah-tengah. Tembok tak kasat mata itu bernama Tabir. Inilah tabir yang tak bisa dilewati oleh bangsa Jin, namun bagi manusia bisa saja, tapi tak terlihat. Tabirnya bahkan sampai ke luar gedung.
Sejak itulah aku tak pernah bertemu istriku lagi, aku tak bisa menemuinya, semuanya gelap tak terlihat، terhalang tembok tabir itu. Jalan buntu, aku tak bisa ke mana-mana. Sejak aku berpisah dengannya, aku bingung mau cari ke mana. Jadi yang aku lakukan hanya mengurung diri, berdiam diri di sini meratapi nasib. Aku juga tak akur dengan jin-jin yang lain." Katanya menutup cerita.
Aku yang sedari tadi termangu mendengar ceritanya dengan seksama akhirnya membuka suara,
“Ohh, istrimu juga nyariin tuh. Dia seharian ini membuntuti ku. Dari subuh tadi dia selalu mengikuti ku."
Sosok pengantin pria itu terlihat antusias dan bahagia mendengar kabar itu, karena merasa ada petunjuk. Lalu aku berkata lagi padanya,
“Tapi kalau kau mau ketemu dengannya nanti saja ya, aku lagi sibuk banget nih, aku mau lanjut belajar lagi.”
Sosok itupun mengangguk, kemudian aku pergi meninggalkannya. Tadinya aku mau balik ke kamarku yang ada di lantai dua, tapi entah kenapa aku tidak berani untuk putar balik, padahal posisiku berada di pertengahan tangga terlarang. Maka jadilah aku turun menyusuri tangga itu lalu menaiki tangga yang ada di seberang untuk menuju ke kamarku.
Sesampainya aku di kamar, sosok pengantin wanita sudah menungguku di sana dan bertanya,
“Gimana? Ada gak?”
“Ada kok, lagi nangis doimu.” Aku menjawab seadanya.
Mendengar itu, sosok pengantin wanita itu pun tiba-tiba menangis tertahan sambil sesegukan tanpa suara. Dia sedih mendengar kabar kalau kekasihnya sedang dilanda kesedihan yang mendalam. Suaminya yang sedang kesepian.
Lalu aku berkata padanya,
"Sabar ya, pasti aku bantu, tapi nanti. Sekarang aku mau lanjut belajar dulu.”
Dia menjawab, “Janji ya sama aku, aku sudah baik padamu.”
“Iya, tapi nanti ya. Aku mau belajar dan setoran dulu.” Kataku meyakinkan.
Setelah itu aku melanjutkan aktivitas sebagai seorang santri pada umumnya. Ku tunaikan shalat dzuhur, kemudian lanjut belajar kitab di siang hari. Selama itu aku tidak berkomunikasi dengan pengantin wanita itu, meskipun dia tetap mengikuti ku setelah shalat, saat aku keluar untuk belajar kitab. Dia terus mendampingi aku belajar, bahkan selepas belajar, aku makan siang pun dia duduk di sebelahku.
Hari menunjukkan pukul tiga sore, sebentar lagi adzan ashar berkumandang. Mataku rasanya sisa 5 watt. Ingin sekali aku tidur siang karena masih sangat mengantuk akibat kurang tidur. Tapi ku urungkan niat itu, sebab teringat aku belum menyiapkan hafalan yang akan di setorkan setelah ashar nanti. Seharian ini aku belum mengaji sama sekali.
Hatiku berkecamuk, pikiranku kacau tak karuan,
“Aduh gimana ini, masa aku gak setoran”, kataku bergumam dalam hati. Padahal aku sudah sangat mengantuk. Tiada daya dan upaya selain pertolongan dari Allah.
Kemudian aku mengaji, mencoba menghafalkan barang setengah halaman. Setoran minimal 1 halaman yang akan dibacakan berjamaah. Sekuat tenaga aku mencoba fokus untuk menambah hafalan. Sosok pengantin wanita itu sedari tadi memperhatikan aku yang penuh harap cemas, lalu dia berkomentar,
“Kalau tidak bisa ya sudah, mending tidur saja.”
“Enak betul kau cakap, aku nih kalau tidak setoran nanti kena marah, ntar gak jadi aku bantu kau.”
“Eh, jangan gitu dong, ya sudah, fokuslah sana”, katanya menyemangati.
Akhirnya aku dapat setengah halaman. Setelah shalat ashar, masih ada tersisa waktu 10 menit sebelum setoran jam 4. Di sisa waktu itu, aku berusaha dengan sungguh-sungguh. Aku memaksakan otak untuk dapat satu halaman. Namun, setengah halaman bagian bawah itu sangat tak bisa ku transfer ke otak. Ya sudah aku pasrahkan semua pada-Nya. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin.
Waktu terasa cepat berjalan. Pukul 4 sore, tibalah saatnya untuk setoran. Seluruh badanku rasanya lemas, letih, hilang semangat untuk mengaji. Kemudian, saat aku berdiri, bersiap-siap untuk menyetorkan hafalan, ustadz bertanya,
“Sudah sampai mana?”
“Sampai sini Ustadz”, kataku sambil menunjuk batas halaman Quran.
“Hah? Cuma setengah?”, beliau tak percaya setelah mengecek Quranku. “Ngapain aja kau ini?!”
“Engg.. Anu, gak masuk-masuk dari tadi Ustadz, sudah kucoba, tapi halaman bagian bawah itu gak bisa masuk”, kataku membela.
“MINUM! Nanti masuk tuh!”, komentarnya lalu berkata lagi. "Ya sudah, bacalah.”
“Berapa kali Ustadz?”, tanyaku ragu-ragu.
“80 kali lah!”
Bagai petir yang menggelegar di dadaku. Aku terdiam mendengar jawaban itu, bagaimana mau menghitungnya, pikirku.
“Satu halaman itu kan 40 kali, ini kan cuma setengah halaman, berarti 80 kali baca.”
Tak terbayang alangkah banyaknya 80 kali itu, lalu aku coba membujuk dan menawar beliau,
“Ustadz, 50 kali saja ya?”
“80 kali! Kalau tidak mau, tambah lah dulu satu halaman.”
“Ya sudahlah aku pasrah saja, tidak apa setengah halaman.”
“Ya bacalah.”
Setoran berjamaah pun di mulai, dengan berbagai varian juz, halaman yang berbeda. Semua orang selesai lebih dulu karena membaca 40 kali, sedangkan aku selesai paling akhir hampir mendekati waktu maghrib. Hanya tinggal aku sendirian yang masih berdiri di tempat setoran. Ya Allah rasanya sudah capek betul mulutku ini terasa kering. Dengan bacaan hadr masih juga tertinggal, tidak bisa mengimbangi yang lainnya.
Langit sudah mulai gelap. Cahaya matahari sudah tak terlihat. Waktu menunjukan pukul enam sore saat aku membaca sudah sampai 63 kali. Masih cukup banyak untuk mencapai 80 kali, sedangkan sebentar lagi waktu magrib segera tiba. Aku menaikkan speed bacaan dengan ngebut agar bisa selesai sebelum adzan.
Ustadz pun bertanya, “Sudah berapa kali?”
“67 kali Ustadz.”
“Ya sudah, bacalah sekali lagi.”
Aku menurutinya, akhirnya selesai juga setoranku. Lalu beliau bertanya kembali,
“Siapa yang di sebelah kau ini?”
“Oh, ini Ustadz, ada pengantin wanita."
"Kau tidak merasa apa-apa seharian ini?"
"Tidak ada ustadz, aman-aman saja."
"Sebenarnya ustadz sedang menguji setiap santri putri pilihan. Kebanyakan santri lain berteriak histeris saat dibuka mata batinnya, mereka ketakutan dan bereaksi menjerit, menangis brutal. Sedangkan kau, ustadz lihat seharian ini nampak tenang, kau terlihat baik-baik saja."
Duarr... hatiku bergemuruh mendengar pernyataannya barusan. Awan hitam yang menggumpal sedari tadi seketika buncah. Butir kristal yang menggantung di sudut mataku turun tanpa izin. Bulir air itu mengalir deras dan hangat di pipiku. Aku menangis sejadi-jadinya menumpahkan segala yang ku rasa. Rasa yang tertahan seharian ini, rasa yang berkecamuk di hatiku akhirnya teruraikan. Di hadapan beliau, aku menangis menumpahkan segala yang ku rasa.
Dari luar aku memang nampak tenang, padahal sebenarnya aku ketakutan setengah mati. Aku bisa bertahan, tetap bersikap tenang dan tidak berteriak itu karena aku tidak mau hantu itu makin jahil menakutiku, aku membatin.
Lalu ustadz meminta maaf kepadaku dan berkata, "Maaf ya Veena, ustadz telah membukakan mata batinmu tanpa izin, membuatmu terpaksa indigo. Sosok yang ada di sampingmu itu, kenapa dia mengikutimu?"
Aku pun berhenti menangis, dan mengusap air mata, lalu menjawab, "Dia mau minta tolong Ustadz.”
“Minta tolong apa?”
“Dia ini terpisah dengan suaminya.”
“Lah, bukannya bersama? Kok bisa? Ustadz pikir sudah menempatkan mereka di sebelah tangga dekat kamarmu.”
“Tidak tahu Ustadz, mungkin tidak sengaja terkurung. Saat itu pengantin pria sedang pergi sendirian entah ke mana. Setelah pulang, dia sudah tidak bisa melewati jalan yang biasa dilaluinya. Seperti ada sesuatu yang menghalangi yang membuatnya tidak bisa menemui istrinya."
“Ya sudah, sampaikan padanya, nanti akan ku buka kan, tidak sekarang, tapi nanti.”
"Baik Ustadz."
"Kau sudah mandi?", tanya beliau.
"Sudah."
"Ya sudah, makan dulu sana."
Kemudian aku di suruh makan oleh beliau. Tempat makan para santri berada tidak jauh dari rumahnya. Baru saja sesuap nasi masuk ke mulut, adzan maghrib pun berkumandang.
Allahu akbar Allahu akbar…!
Peraturan di sini, seluruh santri wajib shalat berjamaah, tidak boleh terlambat. Kalau imam sudah takbir, santri baru datang, itu berarti sudah telat. Maka tidak boleh lagi masuk masjid, jadi shalat di lapangan bagi yang telat.
Hatiku dag dig dug tidak mau terlambat. Aku berhenti makan dan bergegas berwudhu.
Santri putri yang lainnya berjalan anggun, sesudah berwudhu memakai mukenah lalu menuju masjid. Sedangkan aku berlari pontang-panting sambil menenteng mukenah di tangan. Aku berlari dengan rusuh dan bodo amat, yang penting tidak telat, batinku.
Aku berhasil masuk masjid tepat waktu. Saat aku masuk, imam baru berdiri, hendak memulai shalat.
Alhamdulillah, lega hatiku. Lalu aku bergegas memakai mukenah bersiap-siap shalat.
Shalat berjamaah berjalan dengan khidmat dan khusyu, diimami oleh satu-satunya ustadz yang tadi menyimakku, bacaannya syahdu menyentuh qalbu.
Assalamualaikum warahmatullah...
Assalamualaikum warahmatullah...
Shalat magrib berjamaah pun selesai. Dilanjutkan dengan dzikir dan doa. Tak lupa ustadz selalu mengingatkan kami untuk shalat sunnah rawatib ba’diah maghrib.
"Sunnah sunnah!", himbaunya.
Semua santri mendirikan shalat sunnah. Namun, tak jarang, ada juga yang tidak melaksanakannya. Di situlah bagian keamanan beraksi untuk menghukum yang tidak shalat. Pada akhirnya semua santri menunaikan shalat sunnah.
Bersambung...