Setelah melancarkan aksinya menjahili temanku itu, dia kembali mengikutiku menuju asrama.
Di real life, aku berjalan sendirian, jadi aku bisa bebas berinteraksi dengan makhluk ini tanpa ada yang curiga dan julid.
"Aku makan dulu ya, kau lapar tidak?", aku membuka obrolan.
"Aku lagi pengen pizza hut", katanya bercanda.
Ternyata lucu juga hantu ini bisa ngejokes mengimbangi humorku, kemudian aku berkata lagi,
"Bergaya kau, sudah kayak orang luar negeri!"
Ihihihiiihihihi....
Dia tertawa panjang mendengar ucapanku.
Aku kaget dan merinding mendengar tawanya yang melengking seram seperti kuntilanak.
Padahal kalau bicara biasa saja, tapi mendengar tawanya membuat bulu kudukku berdiri. Aku tak mau mendengar tawanya lebih lama lagi lalu ku bentak dia,
"Diamlah!!!!"
Seketika dia pun langsung terdiam. Kemudian aku kembali ke asrama untuk sarapan.
Dari pukul 08.00-12.00 adalah jam kami sekolah. Ruang belajarnya di dalam masjid. Aku bersyukur karena tak mungkin di dalam masjid aku melihat yang aneh-aneh.
Aku menuju masjid untuk melanjutkan belajar. Bangunan masjid ini terdiri dua lantai. Lantai dasar digunakan sebagai masjid dan ruang belajar, lantai duanya adalah asrama putra.
Di lantai dua, ada pagar pembatas yang bisa melihat langsung aktivitas di bawahnya. Nah, di sana aku melihat ada seorang anak laki-laki berusia 10 tahun, sedang bergantung seperti olahraga pull up. Ku kira itu santri putra, ngapain anak kecil itu bergantung di sana, tar jatuh, pikirku. Setelah kulihat-lihat lagi, ah ternyata bukan orang sungguhan. Karena gak mungkin santri betah berlama-lama bergelantungan di pagar itu.
Bangunan masjid ini memiliki atap berbentuk segitiga lancip yang menjulang. Di bagian tengah atap itu terdapat lubang ukuran sedang. Biasanya monyet sering keluar-masuk memanjat lubang itu.
Saat ku lihat ke arah sana, aku melihat laba-laba jumbo, berukuran raksasa, sebesar meja mixue yang ada di zaman now. Betapa terkejutnya aku melihat laba-laba jumbo menempel di atap dekat lubang tersebut. Lagi-lagi itu bukan hewan biasa. Bukan dari dunia nyata melainkan makhluk asing dari alam lain.
Suasana kelas hening. Semua santri fokus menyimak pelajaran. Awalnya aku memilih duduk di barisan tengah, dekat papan tulis. Karena mengantuk, aku izin sama guruku untuk pindah di sudut dekat tembok, biar bisa bersandar.
"Pak, izin pindah duduk ya, soalnya ngantuk."
"Lah kok bisa ngantuk?"
"Semalam saya pulang setoran jam 1 Pak."
"Ya sudah tak apa, kalau mau tidur juga boleh."
"Tidak Pak, saya tidak mau tidur, tapi mau bersandar saja."
Kemudian aku pindah di sudut dekat tembok. Bukannya menyimak pelajaran dengan baik, aku malah ngobrol sama sosok pengantin itu. Pengantin itu bisa masuk masjid dan duduk di sebelahku. Aku bertanya tentang hewan besar yang kulihat tadi.
"Di tempat kalian, hewannya besar-besar gitu ya?", tanyaku padanya.
"Iya, ukurannya jauh berbeda dari alam dunia. Nyamuk di dunia berukuran kecil halus gak kelihatan, tapi kalo di alam kami sebesar burung di tempat kalian, nah burung di alam kami lebih besar lagi", katanya menjelaskan.
Aku terperangah mendengarnya, lalu aku bertanya lagi,
"Oh begitu ya, kalian punya rumah gak sih, seperti di kehidupan kami?"
"Aku sih gak punya rumah, tapi kalau yang lain ada rumahnya. Rumah di alam kami banyak, sama seperti kalian, bahkan di pondok ini pun sebenarnya banyak rumah kami di sini."
"Oh berarti pondok kami nih dipenuhi rumah kalian ya?"
"Iya, tapi kalian ga bisa lihat"
"Hmm, terus kenapa ya ada makhluk-makhluk tertentu yang suka gangguin manusia, ada yang tiba-tiba menampakkan diri lah, nakuti lah"
"Ya itu kan memang sebagai hiburan bagi makhluk yang sedang bosan, karena dunia kami tak ada hiburan, makanya iseng jahilin manusia. Ketika ada yang ketakutan, bangsa kami senang, malah makin jadi menakutinya. Namun sebaliknya, saat melihat ada orang yang ditakuti malah tak menunjukkan ekspresi takut, dia datar dan tenang, bangsa kami malah jadi penasaran dan mengikutinya."
"Oh jadi karena itulah kau ngikutin aku?"
"Ya ga juga sih, kan aku ada something, ada keperluan khusus."
"Oh iya sih, ya sudah aku lanjut belajar dulu."
Aku mengikuti pelajaran sampai selesai hingga mendekati waktu dzuhur. Ketika hendak pulang ke asrama, sosok pengantin itu berkata padaku,
"Kalau ketemu suamiku, kasih tahu ya."
"Oh oke, nanti ku kelilingi gedung ini."
"Iya kalau bisa temukan sampai dapat."
Lalu aku pulang ke asrama melanjutkan aktivitas. Sosok pengantin tadi menghilang entah ke mana. Dia tidak mengikutiku untuk beberapa saat ini.
Di dalam gedung asrama putri yang terdiri dari dua lantai, ada dua tangga penghubung. Tangga itu dibuat dua jalur, sebelah kiri dan di seberang kanan, agar memudahkan para santri melewatinya dengan tidak bergerombol di satu tangga.
Konon katanya, mudir (pimpinan) kami sering melarang santri untuk berjalan sendirian melewati salah satu tangga tersebut. Karena jin di sana suka ganggu orang yang lewat kalau jumlahnya ganjil. Maka harus berdua atau berempat kalau mau melewatinya. Tidak boleh sendirian, bertiga, berlima, bilangan ganjil.
Setelah makan siang dan solat dzuhur, aku keluar kamar dari lantai dua mau ke bawah. Hari itu, aku iseng pengen melewati tangga terlarang sendirian. Aku sudah diperingati temanku, karena jarang sekali aku main di daerah sana.
"Teh Veena mau ke mana? Tumben kau ke sana."
"Ah tidak, hanya mau ngecek kamar."
"Kamar siapa? Kamarmu kan di sebelah sana."
"Ah tidak, aku hanya mau melihat-lihat saja, pengen berkeliling", kataku mengalihkan.
"Ya sudah terserah teh."
Sebelum menuruni tangga, aku ke toilet yang ada di lantai dua terlebih dahulu. Aku mencari sosok pengantin laki-laki namun kulihat tak ada di sana, yang ada hanya seorang anak kecil main air dan ibu-ibu muda sedang berdiri entah lagi ngapain. Badannya menghadap bak air besar dekat tempat wudhu.
Karena tidak menemukan yang ku cari, maka aku keluar dari toilet. Aku berjalan menyusuri tangga terlarang itu. Sampai di pertengahan,
Deg...
Aku melihat sosok pria tampan menggunakan jas mewah sedang duduk sendirian membelakangi ku.
Deg...
Aku terkejut jantungku sedikit berdebar. Sejenak aku mengira bahwa itu santri putra, tapi ngapain ada di sini sendirian? Bukankah ini asrama putri, kenapa tiba-tiba ada santri putra di tangga terlarang? Siapakah dia? Mau apa? Begitu banyak tanya menyelinap di otakku.
Perlahan aku melangkah turun mendekatinya. Satu langkah, dua langkah, semakin dekat, semakin ku pandang, terlihat pria itu sedang menangis, menangis tanpa suara. Menangis dalam diam. Raut wajahnya nampak sedih dan kesepian.
Setelah ku lihat-lihat lagi, siapakah ini? kok pakai jas? Ah gak mungkin santri putra. Pasti makhluk asing. Lalu aku mencoba menyapanya.
"Hallo", sapaku.
Dia menoleh, dengan segera mengelap air mata bekas tangisnya, lalu menjawab,
"Hah, kok bisa lihat aku?"kata pria itu sedikit terkejut.
"Iya, kau lagi ngapain di sini?"jawabku santai.
"Tidak ada, aku hanya kesepian", dia menutupi tangisnya. Jiwa lelakinya terguncang, tak mau dipandang lemah atau cengeng.
"Kesepian kenapa? Kan di sini banyak yang lain, tadi di atas aku melihat anak kecil."
"Aku musuhan sama anak itu, tiap hari dia menggangguku."
"Terus kau mau cari siapa?", tanyaku memancing.
"Kau kenapa bisa lihat aku?", dia bertanya balik.
"Emm, gak tahu ya, intinya kalau kau ada masalah bilang aja ke aku", kataku mencoba menghibur.
"Hmm, aku mau cerita boleh?", dia bertanya lagi.
"Boleh", jawabku sambil mengambil posisi duduk. Aku duduk di dataran pertengahan tangga lantai dua. Sedangkan sosok pria itu duduk dua langkah di bawahnya. Dia memutar balik ke arahku, menghadap samping.
"Eh bukannya di sini ga boleh ya lewat sendirian?", dia bertanya.
"Iya aku tahu", jawabku singkat.
"Terus kenapa kau ke sini sendirian?", dia bertanya lagi.
"Ya sudah tak masalah, tidak ada apa-apa juga kan? Cuma ada kau saja yang duduk di sini sendirian. Memangnya ada siapa yang biasa menempati tangga ini?", tanyaku penasaran.
"Banyak, biasanya ada Mr. G (genderuwo). Dia itu pemarah dan sok berkuasa, tak senang dengan orang."
Untunglah dia sedang tidak ada, entah lagi kemana, mungkin lagi jalan-jalan atau ngopi, batinku.
"Itulah alasan kenapa mudir kalian melarang lewat tangga ini", katanya memberi kesimpulan.
Aku hanya menjawab "Hmmm."
Kemudian, dia memulai cerita tentang masa lalunya, sebelum mati, meninggal, menjadi hantu.
"Tiga bulan lalu, aku menikah dengan seorang gadis cantik. Kau lihat kan aku pakai jas begini, ganteng gak?"
"Iya ganteng banget"kataku memvalidasi.
"Setelah resepsi pernikahan itu, kami mau pulang. Aku dan istriku masuk ke mobil pengantin, mobil sedan. Dalam mobil cuma ada kami berdua dan pak sopir. Kami berdua duduk di belakang tanpa memakai safety belt.
Mobil melewati jalan tol dengan kecepatan penuh. Dari sebelah kanan tiba tiba ada yang nyalip, sopirnya terkejut, dan langsung menginjak rem mendadak. Mobil bermanuver cepat lalu tiba-tiba mobil jadi terbalik.
Traaangg!!!
Mobil menabrak besi pembatas jalan tol dan terjadilah kecelakan dahsyat. Posisi mobil terbalik berada di tepi jalan. Terlihat jurang yang curam, dibawahnya hutan belantara.
Kreeekkk!!
Tak lama kemudian, mobil terbelah dua. Bagian depan mobil tertinggal di tepi jalan tol, bagian belakang mobil yang isinya kami berdua itu jatuh ke jurang. Jurang yang curam di bawahnya hutan belantara.
Pak sopir selamat, sedangkan kami berdua mati di tempat."
Aku bergidik mendengar ceritanya. Mengenaskan juga nasib hantu ini pikirku. Ternyata dia lah pengantin pria yang sedang ku cari. Yes ketemu, bisikku pada diri.
Pengantin pria melanjutkan cerita.
"Setelah jatuh dari jurang, entah sudah berapa lama, kami berdua akhirnya terbangun, tiba-tiba sudah berada di tengah-tengah hutan. Kami berdua tampak tidak ada bekas luka sama sekali, kok kita ada di sini? Ke mana mobil bekas kecelakaan tadi? Mungkin sudah diangkut pikirku.
Setelah kami sadar, ternyata kami bukan manusia lagi, sudah beda alam.
Karena merasa tersesat di tengah hutan, maka kami berdua menyusuri jalanan semak belukar hutan belantara untuk mencari tempat tinggal. Pada akhirnya kami bertemu dengan pondok ini. Kebetulan hanya pondok inilah yang berada di hutan dekat jalan tol.
Ketika kami hendak melangkah masuk ke pondok ini, kami ditegur oleh ustadz kalian. "Hoi kalian mau ngapain?", katanya.
"Kami tidak punya tempat tinggal, bolehkah kami menumpang di sini?", tanyaku pada ustadz.
"Boleh tapi dengan banyak syarat yang harus kalian patuhi. Salah satunya tidak boleh mengganggu santri. Kalau melanggar, konsekuensinya keluar dari sini, diusir."
Kami pun menurutinya. Maka di sinilah awal kehidupan baru kami di mulai.
Bersambung...