Di Balik Tabir-Episode 2

Aku bergegas mengajak Eyden untuk kembali ke kamar.

Kami menyusuri koridor asrama yang gelap, pencahayaan redup dan remang-remang. Suasana sepi sunyi kosong.

Kulihat sosok pengantin yang tadi mengikutiku, sedang berdiri menungguku di tengah tangga yang menuju lantai dua. Konon katanya, tangga tersebut adalah tangga terlarang. Seluruh santri dihimbau agar jangan melewatinya sendirian, atau dalam jumlah yang ganjil. Kalau berjumlah genap boleh saja, misal berdua atau berempat. Karena Jin di sana suka mengganggu. Tangga terlarang itu memang jarang dilalui oleh siapa pun.

Lalu dia kembali mengikutiku menuju kamar. Karena merasa dipantau, aku sangat malu untuk berganti pakaian, rasanya tidak enak, risih dengan makhluk asing ini. Kemudian aku meminta Eyden untuk menutupiku dengan selimut.

Setelah berganti pakaian sekolah, ku ambil kitab dan mukenah untuk dibawa sekolah. Pengantin itu tetap saja menungguku yang sedang bersiap-siap, dia duduk di atas kasurku.



"Hmm kenapa gak duduk di kasur yang lain saja sih, kenapa mesti di ranjangku?", aku bermonolog membatin.

Peraturan di sini, setelah solat subuh, tidak boleh ada yang di kamar kecuali setelah dzuhur untuk qailullah (tidur siang).

Padahal adzan subuh masih lama, tapi aku ingin segera pergi dari sini karena sosok itu terus mengawasiku, walaupun kondisi kamar sudah ramai, semua santri sudah bangun melanjutkan aktivitasnya masing-masing, aku tetap tak nyaman.

Aku sangat risih dengan pemandangan sosok itu, lalu aku berpikir mungkin di mushola dia takkan ikut, sejenak ku pikir lagi, tapi di sini Jin Islam semua. Ah terserah semoga dia tidak bisa masuk ke dalam mushola, begitulah otak dan hatiku berperang.

"Eh ke mushola yuk", aku menghampiri Eyden yang baru selesai tahajud dan bersiap-siap.

"Baru jam 4 ini, adzan masih lama Veen", Eyden menjawab dengan malas.

"Ah tak apa, daripada kita di sini ngeliatin orang wara-wiri, mending ke mushola", kataku mencoba membujuknya, padahal maksudku daripada melihat sosok itu.

"Tapi aku mau ngaji dulu", pinta Eyden.

"Ngaji di sana saja, aku juga mau ngaji."

Akhirnya kami berangkat ke sana pukul 04.00. Jalanan yang dipenuhi rumput itu lengang, suasana masih sepi, hening. Yang ramai hanya di gedung asrama putri dengan segala aktivitasnya. Bahkan, asrama putra pun masih senyap, nampak belum ada yang bangun. Benar-benar belum ada manusia yang keluar pada waktu itu.

Kami berjalan menuju mushola yang lumayan jauh dari asrama. Sekitar 400 meter berjalan kaki. Jalanan rumput yang masih area hutan, gelap tidak ada lampu, hanya ada lampu di dekat mushola saja. 

Daripada melewati jalan rumput hutan yang gelap, aku berpikir lebih baik lewat gedung yang baru dibangun di sebelah sana, meski harus putar balik.

Kemudian kami melewati gedung satu lantai yang baru dibangun. Gedung yang belum jadi itu digunakan sebagai ruang kelas belajar. Setidaknya di sana ada lampu walau tidak terang. 

Di bangunan itu terdapat ayunan yang sebelumnya ada di depan rumah guru kami, entah kenapa dan sejak kapan ayunan itu ada di sana.

Aku bergidik melihatnya, di sana ada anak kecil berambut panjang sedang bermain ayunan. Wajahnya seram. Di pipi sebelah kanannya ada goresan bekas luka yang besar. Anak kecil itu memakai baju pink motif bunga. Kulihat di sana juga ada pocong sedang berdiri dan ada kuntilanak yang bergantung di pohon.

Aku bergidik, jantungku berdebar-debar. Hatiku bergejolak melihat pemandangan tak biasa ini. Aku mencoba tenang sambil berjalan. Mataku celingak-celinguk melihat kiri-kanan. Aneh, mataku melihat pemandangan yang tak biasanya. Ternyata di luar asrama lebih banyak lagi, pikirku. Lalu kami berjalan melewati ayunan tersebut. Ayunan yang sedang dimainkan oleh anak kecil tadi bergerak, dan temanku melihat gerakan ayunan kosong tanpa melihat hantunya. Setelah jauh dari ayunan itu, Eyden berkata,

"Ayunan tadi gerak gak sih?"

"Ah kau salah liat kali."

"Serius aku nih", katanya meyakinkan.

"Lihatlah, gak gerak kan ayunannya?"

Aku menunjuk ke arah ayunan tersebut dan memang sudah berhenti karena anak kecil tadi sudah tak ada di sana. Tak lama kami berjalan, anak kecil itu melambaikan tangan kepadaku, seolah say hallo-dadah.

Meskipun seram, tapi perawakannya ceria. Ingin ku balas lambaian itu, tapi nanti kawanku malah bingung. Cukup dengan tersenyum aku membalasnya lambaiannya.

Akhirnya kami tiba di mushola. Sosok pengantin tadi masih terus membututiku di belakang, hingga batas pintu mushola.

Saat kami masuk, dia hanya berdiri di depan pintu. Aku juga tak tahu mengapa dia tak ikut masuk, mungkin karena tidak mau, atau memang tak bisa masuk. Lalu aku menutup pintu dengan membelakanginya. Hawa panas menyeruak di dalam mushola yang tak ada kipas angin, membuatku gerah dan berkata pada Eyden.

"Ey kamu mau ngaji di sini ya? Ke teras saja yuk biar bisa ngadem", kataku mengide.

"Buka saja pintunya", jawabnya.

Ada dua pintu mushola di sisi kanan dan kiri. Aku hanya membuka satu, pintu sebelah kiri saja, kemudian Eyden berkata lagi,

"Buka dua-duanya saja Veen", pintanya agar lebih banyak udara yang masuk.

"Kau saja yang membukanya", kataku beralasan. Padahal sebenarnya aku merasa takut karena sosok pengantin tadi berdiri di pintu sebelah sana.

Kreeeeek...

Pintu dibuka oleh Eyden. Sosok tadi tetap berdiri di sana memandangku.

Aura magis, perasaanku resah, tak nyaman, gelisah juga tak tenang karena melihat sosoknya terus mengawasiku.

"Mau apa dia? Kenapa terus mengikutiku? Kenapa pula aku bisa melihatnya?", bisikku dalam hati yang bergejolak tak karuan.

Setelah membuka pintu, Eyden kembali mendekatiku dan mengaji.

Aku gemetaran melihatnya, juga tak tenang, lalu aku berkata pada Eyden.

"Anu, aku mau tidur dulu ya."

"Kau ini mau tidur?! sebentar lagi subuh hoii! Kau sima'kan aku ngaji saja", katanya memberi usul.

Aku menurut dan menyimaknya sampai adzan subuh. Mendekati adzan, para santri sudah ramai untuk bersiap shalat berjamaah.

Setelah selesai shalat, aku tertidur lagi. Sebelumnya aku sudah titip pesan pada temanku agar membangunkanku kalau mau ke kelas.

Kriingg..

Bel berbunyi tepat pukul 06.00 tanda waktu belajar kitab segera dimulai. Kelasnya di gedung satu lantai yang baru dibangun, masih setengah jadi, tanpa atap, baru dinding dan lantainya saja. Kelasnya digabung santri putra dan putri. Kami duduk memakai karpet yang terpisah.

Mendengar bel itu, aku pun terbangun.

Kulihat di sekelilingku sudah tidak ada orang lagi. Hanya aku sendirian di mushola. Semua lampu sudah dimatikan kecuali lampu di atas tempatku berbaring.

"Huft sial, tak ada yang membangunkan ku!", gerutuku kesal. Kemudian aku matikan lampu lalu beranjak keluar hendak menuju kelas. Saat aku keluar, sosok pengantin tadi sedang duduk di teras lantai dua lalu memanggilku.

"Shaveena"...

Suaranya yang khas mencekam, pelan, datar tapi berirama, membuat tubuhku terhentak menoleh, lalu aku memberanikan diri berkata,

"Kau ini kenapa? Dari tadi mengikuti terus, aku tak ada mengganggumu. Aku tak tenang kalau kau begini terus. Aku juga mau pergi belajar nih", akhirnya aku beranikan diri berinteraksi dengannya.

"Tidak, aku tidak akan mengganggumu. Aku cuma mau tanya, apa kau lihat suamiku?"

"Mana tahu aku, memangnya suamimu ke mana?"

"Ada di sekitar sini, tapi aku tak bisa menemukannya"

"Ya sudah nanti ku carikan, tapi sekarang aku mau pergi belajar dulu, kau tak usah mengikutiku! Pulang saja kau ke asrama, kalau mau tidur, tidurlah"

Dia tertawa mendengar ucapanku. Ketawanya nyaring mirip seperti kuntilanak, lalu berkata sambil cekikikan,

"Aku bukan manusia yang bisa tidur, hihihihi"

Mendengar jawabannya, aku ikut tertawa dalam hati tapi sekaligus takut, mendengar tawanya yang seram. Kemudian aku berkata lagi,

"Terserah kau lah mau ngapain"


***


Ayesha yang sedari tadi mendengar ceritaku ikut tertawa, lalu dia bertanya,

"Apa di siang hari sosok itu masi ada? Apa dia akan menghilang saat kena sinar matahari?"

"Iya, dia terus ada, mengikuti kemana pun aku pergi", jawabku.

"Kau tak penasaran untuk menyentuhnya? Bagaimana rasanya, mungkinkah seperti bayangan kehidupan? Atau tembus seperti angin saat menyentuhnya?", tanyanya lagi.

Aku menggeleng pelan, sambil berkata,
"Mana berani aku Ay, melihatnya saja gak sanggup."

"Kalau aku di posisimu, sudah kupegang hantu tersebut sebagai tanda bahwa pernah memegang hantu, bakal jadi tulisan yang menarik."

Kembali ke 5 tahun lalu.

Di dalam kelas ruangan belajar, di gedung lantai satu yang baru dibangun, belum ada atap. Hanya tembok yang terbuka, dan lantai semen yang belum dipasang keramik. Santri putri dan putra di gabung dalam karpet yang terpisah. Sebelah kiri karpet putri, sebelah kanan karpet putra yang berada di dekat pintu. Di depan kelas ada papan tulis dan meja guru.

Aku duduk di depan, sudut paling kanan barisan putri. Sosok pengantin wanita tadi juga ikut duduk di sebelahku, dia duduk tanpa karpet karena posisinya di tengah. Kasian juga nih hantu, batinku.

Kulihat di belakang guruku ada pocong yang berdiri di sana, juga ada anak kecil usia 3 tahun sedang berkeliaran sangat aktif berlarian bermain di kelas, membuatku tak fokus. Dia main sendirian tak berkesudahan ke sana ke mari mengelilingi kami. Aku bergumam dalam hati "Ngapain ni bocah di sini." 

Aku mencoba fokus dengan pelajaran saat pak guru memberi tugas latihan soal. Di buku yang kami pelajari ada percakapan, lalu ada pertanyaan soal di bawahnya. Aku masih belum paham dengan bahasa Arab jadi sedikit kebingungan.

Ku coba baca secara menyeluruh tapi tak juga memahami maksudnya, bagaimana pula mau menjawab soal.

Tiba-tiba sosok pengantin wanita yang duduk di sampingku berkata,

"Itu tuh percakapan tentang dua orang perempuan yang sedang berdialog berbagi cerita."

"Kau tahu?", tanyaku padanya.

Seperti pada umumnya, jawaban soal ada di teks percakapan. Misalnya, di mana lokasi dua orang tersebut bercerita, dan seterusnya.

Aku menyalin soal di buku, lalu berkata, 

"Apa ini?"

Temanku yang duduk di sebelahku suudzon,

"Hoi nyontek kau ini?!"

"Mana ada aku nyontek, aku tuh sedang ngomong sendiri", belaku.

"Is dah kau ini", gerutunya. Kemudian beberapa teman menjauhiku dan menjaga jarak karena takut dicontek.

Sosok pengantin tadi memberi tahu semua jawaban dari 10 soal. Padahal aku cuma bertanya artinya saja. Maksudku, biar aku saja yang menjawab. Ternyata jawaban yang diberikan olehnya benar semua.

"Boleh juga ni hantu, bermanfaat juga bisa menolongku", bisikku dalam hati.

Setelah jam pelajaran usai, santri putri dipersilahkan keluar terlebih dahulu. Ladies first. Santri putra mengalah.

Saat aku melangkah dan berdiri di dekat pintu, saat aku hendak memakai sandal, tak sengaja aku menabrak anak kecil yang berlari-lari tadi hingga dia jatuh terpental.

Reflek dan kaget aku berucap dan membungkukkan badan,

"Eit Nah nah!!!", aku terkejut.

Temanku, santri putra yang ada dekat pintu menyahut,

"Lah kenapa pula kau ini?"

"Ngg, anu, kepeleset", kataku beralasan.

Kulihat bocah yang tak sengaja ku tendang tadi, dia terguling. Kasihan, ingin sekali aku menolongnya. Lalu aku duduk lagi pura-pura memakai sendal dengan bergaya seolah memakai sepatu.

Lagi-lagi temanku yang julid tadi, santri putra, yang selalu berkomentar atas apa yang kulakukan, dia berkata lagi,

"Ay ay bergaya nian kau ini pakai sendal".

Tak ku pedulikan komentarnya, yang jelas aku mau membantu bocah yang tak sengaja ku tendang, ia terbaring di dekat sendalku yang satunya lagi.

Aku mengambil sendal menggunakan kedua tangan. Satunya mengambil sendal, tangan satunya lagi memegang tangan bocah tersebut dan membantunya berdiri. Seketika bocah itu berdiri, lalu dia langsung berlari-lari lagi. Aku hanya geleng-geleng dan membatin,

"Uy budak ini aktif nian" (budak=bocah,bahasa Palembang).

***


Ayesha kembali bertanya,

"Nah loh itu kok bisa nyentuh? Enteng ya? Gimana rasanya?

"Seperti mengangkat anak kecil yang normal", jawabku.

"Oh bukan tembus seperti angin ya?"

"Enggak, badannya itu terasa".

"Oke lanjut."

Setelah bocah itu berdiri dan langsung lari, aku spontan berkata,

"Anak siapa lah ini?"

Temanku, santri putra yang julid tadi mendengar ucapanku, lalu dia menjawab,

"Kau itu yang anak siapa?"

"Aku anak bapakku"

Maka terjadilah perdebatan usil di antara kami.

Sosok pengantin wanita yang mengikutiku berkata padaku,

"Ngeselin ya anak itu?"

"Iya ngeselin banget tuh orang", kataku.

Saat itu hanya aku sendiri santri putri yang masih di depan pintu yang belum beranjak. Santri putra yang lainnya protes dan mengusirku.

"Woi cepatlah kau ini, balik sana, kami juga mau balik nih!"

Aku mencari sosok tadi, kok dia tidak mengikutiku lagi ya?", batinku. 

Ternyata sosok itu ada di dalam sedang mengganggu temanku yang julid dan jahil tadi.

Swinggg...

Dia melemparkan peci temanku ke luar tembok. Temanku kaget dan berteriak marah.

"Woi lah siapa yang melempar peciku?!"

Di belakangnya banyak santri putra yang masih kecil, dia pikir anak-anak tersebutlah yang jahil. Seluruh santri putra dicurigai dan ditanyai satu persatu,

"Kau yang melempar peciku?"

"Bukan aku Bang", semua anak tak ada yang mengaku dan dia mengancam,

 "Awas saja kalau sampai ketahuan".

Demi melihat pecinya yang terlempar ke teras luar, aku tertawa cekikikan. Di samping kelas kami belajar, ada tangga.  Aku berdiri di bawah tangga tersebut sambil tertawa sendirian.

Tiba-tiba ada yang menyahuti tawaku dari atas. Aku merinding, bulu kudukku berdiri mendengar suara tawanya yang dahsyat juga nyaring menggelegar.

Saat aku mendongakkan wajah ke atas, ternyata sosok kuntilanak sedang berdiri di sana sambil tertawa seram. Cepat-cepat ku palingkan wajah pura-pura tak tahu. Lalu aku pergi dari tempat itu, dan bergeser ke tempat lainnya.

Bersambung...

2 komentar

  1. Jd sudah ketemu ap belom lakinya 😁😁
  2. Masih panjang ceritanya, nantikan di episode selanjutnya yaa, hihihi