Berburu Hantu

Tubuhku lemah terkulai, suhu badanku panas tapi terasa dingin menggigil. Kepalaku sangat pusing, tenggorokan juga sakit, diiringi perut mual dan susah bergerak, bahkan membuka mata pun sulit sekali. Kondisiku sangat memprihatinkan. Yang kurasakan hanyalah tidur sepanjang hari, tidur sepanjang waktu, tidur selamanya, seperti hendak mau mati, tapi mati suri. Setelah tidur lama, aku bangun, hanya membuka mata satu detik, dua detik lalu tertidur lagi. Mataku seperti ada magnet yang begitu kuat yang memaksaku untuk menutupnya rapat-rapat. Berat sekali rasanya, susah payah aku membuka mata satu detik, dua detik, lalu gelap, semuanya gelap, mataku tertutup sempurna, aku sudah ada di alam lain..


*****


April, 2014.


Ayesha menginjak bangku SMP kelas tiga. Ia terlahir dari keluarga sederhana yang mempunyai banyak saudara. Kakak keduanya akan segera menikah bulan depan.

Ayesha, Adeeva (kakak kelima Ayesha), dan Zeyra (calon adik ipar mempelai), diminta untuk menampilkan persembahan tarian adat di Kotanya saat itu.

Maka berlatihlah mereka bertiga selama satu bulan. Mereka bertiga latihan setiap malam di rumah Zeyra yang tidak terlalu jauh dari rumah Ayesha, hanya berjarak 300m. Biasanya mereka latihan mulai dari ba'da Isya hingga pukul 11 malam baru pulang. Ayesha belum pernah menari sebelumnya, jadi masih sangat kaku gerakannya. Untuk bisa lentur butuh waktu yang lama. Maka hampir setiap malam mereka berlatih dengan rutin.

Pada suatu malam, malam jumat, mereka pulang lebih larut. Hampir mendekati pukul 00.00. Pulang dari latihan tentunya badan terasa capek, pegal linu, enaknya langsung rebahan di kasur lalu tidur. Malam itu Ayesha melupakan ritualnya sebelum tidur apalagi habis berpergian dari luar, yaitu cuci muka, cuci kaki, gosok gigi, berwudhu, dan berdoa sebelum tidur.

Tak seperti biasanya Ayesha pulang langsung tidur. Biasanya dirinya yang paling susah tidur, ia selalu begadang. Malam itu, setelah sampai rumah, entah kenapa tiba-tiba dia merasakan hawa dingin yang sangat menusuk hingga ke tulang. Badannya menggigil hebat, selimut tebal yang berlapis tak mampu menutupi dinginnya. Kemudian dia merasa ngantuk dan langsung tertidur pulas tanpa sempat berdoa apalagi cuci kaki dan kebiasaan rutin lainnya.

Dua hari, tiga hari, Ayesha tidur sangat pulas tak bangun-bangun. Tak makan juga tak minum. Selama itu pula keluarganya curiga dan khawatir.

Ameera, kakak keempat Ayesha mendekati tempat tidurnya.

"Ayesha bangun!, sudah tiga hari kau tidur! Apa gak laper? Gak haus?", ucap Ameera mencoba membangunkan adiknya, walau tidak ada respon darinya. Lalu dia membukakan mulut Ayesha dan menuangkan air minum. Dituangkannya pelan pelan air tersebut agar membasahi tenggorokan Ayesha yang sudah 3 hari kering kerontang. Namun gadis itu tak bergeming. Dia masih saja tidur pulas. Tak ada reaksi apapun.

Malam berganti siang. Waktu terasa cepat berlalu. Hari demi hari keadaannya semakin parah. Gemertuk bunyi gigi Ayesha ditengah kondisinya yang masih tidur membuat seisi rumah panik, ditambah lagi suhu badannya semakin tinggi. 

Ibu segera memanggil ahlinya, yaitu tetangganya sendiri yang merupakan seorang bidan, datang untuk memeriksa kondisi Ayesha.

Dari hasil pemeriksaan, ditemukan bercak merah. Bintik-bintik merah banyak sekali bermunculan setelah cek darah dan tensi.

"Bu, ini gejala DBD. Suhu badannya sangat tinggi, trombositnya sangat rendah, kalau terlambat sedikit bisa jadi tidak tertolong", kata bidan tersebut menjelaskan juga menyarankan untuk segera ke rumah sakit.

Sore harinya Ayesha dibawa ke rumah sakit terdekat untuk pemeriksaan lebih lanjut. Setelah hasilnya keluar, karena di sana alatnya belum memadai maka pihak rumah sakit langsung menyarankan untuk rujuk di rumah sakit yang lebih besar. 

Berangkatlah keluarga Ayesha menuju rumah sakit yang berada di ujung Kota Bersih Aman Rapi dan Indah. Sampai di sana, kamar kelas ekonomi sudah penuh. Yang tersisa adalah kamar VIP.

Hanya ada satu pasien di dalam kamar VIP. AC terasa begitu kencang, Ayesha sempat bangun sebentar minta matikan AC. Setelah itu dia tidur lagi sambil mengigau. Ibu yang menjaganya sendirian jadi khawatir.

Besoknya, kamar kelas ekonomi sudah tersedia karena pasien sebelumnya sudah pulang. Ayesha dibawa pindah kamar menuju kamar tersebut. 

Selama tujuh hari opname, ibunya selalu menemani gadis itu di rumah sakit. Kadang bergantian berjaga dengan kakak-kakaknya yang lain.

Sanak, saudara, keluarga silih berganti datang membesuk. Tak lupa membawa buavita jambu biji. Sudah seperti supermarket. Buavita berbaris rapi di atas meja. Jangankan meminumnya, mencium aromanya yang menyengat saja sudah membuat Ayesha mual karena setiap hari terpaksa harus minum jus tersebut.

Selama empat hari Ayesha hanya terbaring tak sadarkan diri, yang dilakukannya hanya tidur saja. Bangun hanya sesekali, beberapa detik lalu tidur lagi.

Jarum suntik, obat, rumah sakit, yang dulu adalah hal yang sangat ditakutkan Ayesha, tak pernah terbayang akan mengalami nasib seperti ini.

Setiap hari jam enam pagi, dokter selalu datang untuk mengambil darah dari siku dan pergelangan tangannya. Dua jam kemudian perawat datang memberikan obat dan sarapan.

Keluarga datang silih berganti tak pernah mendapati Ayesha siuman, yang ada hanya tidur sepanjang masa. Saat melihat Ayesha membuka mata, ibunya bercerita bahwa tadi bibi dan pamannyanya datang. Setelah itu Ayesha tidur lagi. 

Hari kelima di rumah sakit. Ayesha mulai sadar sepenuhnya. Barulah dia bisa bercerita tentang dirinya dan apa yang dirasakannya.


*****


Aku baru sadar secara utuh. Suhu badanku masi tinggi. Aku merasa bosan sekali di sini. Tak ada kegiatan, hanya rebahan, nonton TV, minum obat, makan makanan rumah sakit, minum buavita jambu biji, disuntik, diambil darah. Selebihnya aku hanya berbaring dan tidur lagi. Malas sekali aku minum obat. Makanan yang disajikan perawat tak pernah ku habiskan.

Waktu bergerak terasa sangat lama. Aku melewati hari demi hari yang sangat membosankan ini. Aku rindu pada teman, guru, sekolah. Sudah banyak pelajaran yang tertinggal padahal sebentar lagi mau ujian nasional. Aku bertekad untuk sembuh.

Besoknya, aku mulai menjadi pasien yang baik, ku minum semua obat tepat waktu. Ku habiskan makanan rumah sakit. Sampai pada insiden susah menelan ketika kapsul jumbo PSIDII 500gr Dexa Medica nyangkut secara vertikal di tenggorokanku. Sontak saja aku panik dan menangis. 

(Ayesha baru tahu empat tahun setelahnya, saat berkesempatan berkecimpung di industri obat-obatan, bahwa minum obat kapsul sebesar itu mestinya dibuka dulu kapsulnya lalu dituangkan bubuknya dan dilarutkan dalam air. Ternyata dulu dia secengeng itu ya, hihi)

Dengan keadaan panik, ibunya meminta ayesha minum air yang banyak agar obatnya luruh. Aku berjuang menelan kapsul tersebut, "Pokoknya aku harus sembuh!", bisik hati mungilku.

Hari berikutnya kondisiku mulai membaik. Suhu badanku mulai normal. Aku sudah bisa duduk, dipapah ke toilet dengan sangat hati-hati. Selebihnya aku hanya bisa berbaring. Dokter bilang harus makan yang banyak. Aku merengek, dan bertanya pada dokter, "Kapan saya boleh pulang Dok?".

"Makanannya harus dihabiskan ya Dik. Mau pulang kan? Banyak minum buavita ya, semoga lekas sembuh", katanya sambil tersenyum setelah melakukan rutinitasnya menyuntik dan mengambil darahku untuk cek labor.


*****


Hari ke tujuh di rumah sakit, kondisiku mulai membaik. Tubuhku terasa lengket. Aku ingin mandi, walau hanya di lap-lap saja. Aku menjalani rutinitas seperti biasanya, duduk, rebahan, makan makanan rumah sakit, minum obat, tak lupa minum buavita jambu biji yang terasa anyir di lidahku. Aku tak tahan lagi ingin cepat sembuh dan keluar dari sini. Aku ingin melihat matahari. Rasanya sudah hampir 10 hari tak melihat sinar yang kurindukan.

Seperti biasa, setiap pukul enam pagi, dokter datang untuk menyuntik mengambil darahku dari tangan sebelah kiri. Beliau berkata untuk ke sekian kali,

"Genggam dan kepalkan tangannya yang kuat ya dik",  katanya memberi instruksi.

Lagi-lagi masih saja aku takut untuk melihatnya. Jantungku berdegup kencang, gemetaran karena  takut sakit. Aku pejamkan mata sambil terus berdzikir. Hal itu meringankan rasa sakit ku. Sementara itu, sepersekian detik, darah sudah masuk dalam tabung kecil. Lalu dokter berkata,

"Wah, nampaknya sudah sehat ya, kalau gitu besok sudah boleh pulang"

"Beneran Dok? Yeyyyy", aku happy sekali mendengarnya.

"Tapi tetap harus minum obat dan buavita ya untuk proses pemulihan."

"Baik Dok", jawabku, di sisi lain batinku berontak, idih ogah banget, mau muntah. (Sstttt itu rahasia kita saja ya, hihi)

Kembali ke aktivitas seperti biasa. Supaya cepat sembuh aku minum obat tepat waktu. Makan makanan rumah sakit, selebihnya rebahan. Tidur hanya di malam hari. Sepanjang hari tak bisa tidur.

Walaupun sudah kubabiskan, lidahku sangat bosan dengan menu makanan rumah sakit. Mentang-mentang dibilang sembuh, lalu aku minta dibelikan model (makanan khas Palembang).

Saat itu dua orang kakak perempuan yang menemaniku. Mereka berdua pergi membeli pesananku dan aku ditinggal sendirian di kamar. Lama mereka pergi karena berjalan kaki. Aku sudah tak tahan mau buang air kecil. Tapi tak bisa ke toilet sendiri, harus di papah. Di sana tak ada orang, aku tak bisa berbuat banyak. Aku baru bisa duduk. Untuk beranjak dari ranjang belum bisa. Sudah pasti roboh kalau aku nekat ke toilet sendirian. Mungkin mereka pergi tak lama, aku saja yang tidak sabaran karena kebelet. Aku hanya bisa menangis menunggu mereka pulang.  Setelah mereka pulang, barulah aku menunaikan hajatku.

Malamnya kami sudah berkemas karena besok sudah mau pulang.

Hatiku girang.

Hari kedelapan di rumah sakit aku mau mandi pintaku pada ibu. Akhirnya aku merasakan air segar yang mengalir di tubuhku lalu kami bersiap-siap pulang. 

Besoknya guru-guruku datang ke rumah untuk membesuk ku. Bukannya teman-teman yang datang, tapi para guru SMP. 

Senang sekali rasanya walaupun aku tak bisa ikut nimbrung karena masih lemas pasca sakit jadi yang menyambut merek adalah keluargaku. Mereka membawakan banyak snack, roti, uang jajan, dan buavita jambu biji yang banyak. Aduh buavita lagi, batinku menggerutu. Tapi yang minum bukan aku, melainkan dibagikan ke saudara-saudaraku karena aku sudah sangat muak.

"Hehe maaf ya buavita, tercium aromamu saja, rasanya mau muntah", kataku dalam hati. Bukannya apa-apa, aku trauma dengan minuman satu ini. Rasanya aneh, tak masuk di lidah. Hingga kapanpun aku tak mau lagi meminumnya.

Guruku bilang, teman-teman sekelas ingin sekali ikut, namun jarak sekolah dan rumahku lumayan jauh, kalau ditaksir sekitar 11km. Mereka tak mungkin mengizinkan para bocah naik mobil angkot, pun tidak muat kalau harus pergi semua. Maka jadilah tidak ada satu pun teman yang ikut kecuali hanya guru-gurunya saja.

Hari menjelang sore. Guru pun pamit untuk pulang. Satu persatu menyalamiku sambil berkata,

"Cepat sembuh ya Ayesha, teman-temanmu sudah merindukanmu."

"Lekas pulih ya nak, sudah 10 hari lebih kamu absen, semangat ya nak."

"Kalau sudah sembuh nanti masuk ya Ay, banyak pelajaran yang tertinggal, sedangkan ujian sebentar lagi."

Aku hanya bisa tersenyum dan menganggukkan kepala sambil bersalaman. Aku sayang banget sama mereka yang sudah rombongan jauh-jauh ke sini menaruh harapan kepadaku. Aku janji nanti akan masuk sekolah.


*****


Masa pemulihan pasca sakit sekitar lima hari. Jadi totalnya 15 hari, itu berarti sudah setengah bulan Ayesha tidak bersekolah. Setelah benar-benar pulih akhirnya ia kembali ke sekolah. Semua temannya berhamburan antusias menyambutnya. Mereka mengerumuni dan mewawancarai dengan banyak pertanyaan yang membuatnya pusing untuk menjawab. Semuanya kembali berjalan normal. Ujian berhasil diikutinya dengan baik dan mendapat nilai yang sempurna. 

Ayesha termasuk anak yang cerdas dan rajin. Ia selalu dapat beasiswa prestasi. Di sekolahnya ada keringanan biaya SPP tiap semester. Rangking satu bebas SPP 6  bulan. Rangking 2 bebas SPP 4 bulan, Rangking 3 bebas SPP 2 bulan. Ayesha selalu jadi juara di sekolahnya bahkan bisa disebut dutanya sekolah. Makanya dia tak pernah minta uang dengan keluarganya untuk membayar SPP karena beasiswa yang selalu didapatnya.

Sejak kecil Ayesha sering nonton film horor, sebab keluarganya juga suka menonton film horor Indonesia maupun Barat. Sejak kecil ia juga penasaran dengan yang namanya hantu. Hatinya tak bisa percaya dengan hal-hal seperti itu. Tapi ingin sekali dia melihat secara langsung. Berburu hantu, dengan syarat, jangan sendirian melihat, minimal berdua. Begitulah kata yang sering terucap dari mulutnya saat menemukan partner yang satu frekuensi.

Tiga puluh hari sebelum Ayesha jatuh sakit, dia sedang menginap di rumah sepupunya. Waktu itu, malam jumat, pukul sepuluh malam. Dia dan sepupunya pergi belanja ke warung dengan berjalan kaki berjarak 300m dari rumahnya. Belum begitu larut, tapi jalanan sudah sepi, rumah warga sudah pada tutup. Tak ada lagi yang berkeliaran juga motor berlalu lalang jarang sekali, hanya satu dua yang melintas.

Di daerah sana, banyak makam umum yang terpampang nyata berserakan. Di sanalah muncul ide untuk berburu dan menantang hantu. Karena merasa sok berani, mereka berdua melewati jalan yang disebut dengan Dam (parit besar-saluran air).

Bekas air yang menganga, kosong, gelap tak ada pencahayaan. Bau sampah yang menyengat, Ayesha menyalakan kamera untuk berburu hantu. Dia berpikir pasti ada di sekitar sini. Ayesha berjalan sambil merekam video. Lalu mereka berdua berjalan melewati kuburan luas yang berserakan dipinggir jalan. Tak ada pagar yang menutupi, dibiarkan begitu saja, ini sudah jadi pemandangan yang biasa.

Sesampainya di rumah, setelah membeli keperluan di warung. Ayesha dan sepupunya memutar video yang direkamnya tadi. Mereka perhatikan dengan seksama, berharap ada penampakan yang muncul. Beberapa menit setelah itu, Ayesha kecewa karena tak menemukan apapun.

Pada malam jumat berikutnya, saat dirinya pulang larut malam setelah latihan menari, saat itu mereka pulang di antar oleh calon kakak ipar mempelai, naik motor bonceng tiga.

Di pertengahan jalan, ada pohon kelapa yang menjulang tinggi, sedikit miring. Konon katanya pohon tersebut ada penunggu, salah satu warga ada yang sudah pernah melihat. Ayesha yang duduk di tengah merasa aman ketika melewatinya, dia tidak takut sama sekali, malah ingin melihat secara langsung dengan mata telanjang.

Tiba-tiba muncul lagi ide usilnya untuk berburu hantu. Kali ini bukan merekam video, tapi memandangi pohon kelapa. Ia mendongakkan kepala dengan tatapan mata tajam dan sedikit melotot ke arah pohon tersebut.

Diperhatikannya dengan lekat dan seksama dalam durasi yang lama. Pohon itu bergerak ke kanan ke kiri seperi melambai kena terpaan angin.

Apa benar di sana ada sesuatu? Makhluk seperti apa? Aku makin penasaran.

Lagi-lagi dia kecewa karena tidak ada sesuatu atau penampakan yang ia cari di pohon itu. Hanya ada semilir angin yang membuat daunnya bergoyang.

Sesampainya di rumah, tubuhnya tiba-tiba kaku. Hawa dingin menusuk tulang entah datang dari mana, tiba-tiba menyergapnya, membuat dirinya menggigil bukan main, bahkan selimut yang berlapis pun tak mampu menghangatkan tubuhnya. Ia lupa untuk sekedar cuci kaki sehabis berpergian, malah langsung tidur dengan kedinginan. Esoknya selama berhari-hari ia tak sadar, juga tak bangun.

Tahu apa yang terjadi sebenarnya?


*****


Sebelum diperiksa oleh bidan, Ayesha dibawa ke orang pintar alias di ruqyah. Ayesha divonis ada yang mengikutinya, seperti yang disebut pada umumnya yaitu ketempelan makhluk halus, konon katanya (kuntilanak). Orang pintar tersebut memberitahu bahwa Ayesha terkena di pohon kelapa yang tinggi juga sedikit miring yang ada di pertengahan jalan. 

Selama beberapa hari tak sadarkan diri Ayesha selalu mengigau, meracau dalam keadaan tidur.

"Anton di mana kamu? Ayo kita metik cabe"

"Anton jangan tinggalin aku"

Dan masih banyak lagi racauan Ayesha. Selain itu, dia juga berkata kasar, ngomong sembarangan ngawur, kadang juga berteriak-teriak sendiri seperti bukan Ayesha.  Padahal dalam dunia nyata ia tak punya teman yang bernama Anton. Siapa pula Anton? Kekasihnya? Tahu apa bocah SMP tentang cinta. Aneh bukan?

Sebelum di bawa ke rumah sakit, setelah di ruqyah, dia dimandikan dengan kembang tujuh rupa. Saat itu Ayesha berteriak berontak. Lalu jari kakinya dipijit sebagai jalan keluarnya makhluk yang merasukinya.  Ayesha berteriak lebih kencang. Semua keluarga berkumpul menyaksikan. Ketika membuka mata, Ayesha ditanya oleh kakaknya.

"Kamu kenal gak sama Syaqeela?" (ponakan pertama usia 2 tahun), tanya kakaknya.

Ayesha hanya diam dengan tatapan kosong lalu menggeleng. Keluarga sedih, apalagi ibu. Dia diam-diam menangis melihat kondisi anaknya seperti itu.

Ameera dan keluarganya baru menceritakan semuanya yang terjadi setelah Ayesha benar-benar pulih. Kakaknya bilang kalau dia takut mau mendekatinya saat itu, karena sedang ada kuntilanak yang merasukinya.

Kemudian Ayesha menceritakan dari sudut pandangnya.

Malam itu benar adanya aku menantang hantu, karena penasaran pengen lihat secara langsung. Tapi tak kutemukan. 

Sesampainya di rumah, aku tiba-tiba kedinginan, menggigil, seperti membeku seluruh tubuhku. Padahal aku memakai selimut tebal yang berlapis, tetap saja dingin ini menembus tulang.

Setelah beberapa hari menjadi putri tidur, tubuhku lemah terkulai, suhu badanku panas tapi terasa dingin menggigil. Kepalaku sangat pusing, tenggorokan juga sakit, diiringi perut mual dan susah bergerak, bahkan membuka mata pun sulit sekali. Kondisiku sangat memprihatinkan. Yang kurasakan hanyalah tidur sepanjang hari, tidur sepanjang waktu, tidur selamanya, seperti hendak mau mati, tapi mati suri. Setelah tidur lama, aku bangun, hanya membuka mata satu detik, dua detik lalu tertidur lagi. Mataku seperti ada magnet yang begitu kuat yang memaksaku untuk menutupnya rapat-rapat. Berat sekali rasanya, susah payah aku membuka mata satu detik, dua detik, lalu gelap, semuanya gelap, mataku tertutup sempurna, aku sudah ada di alam lain. Alam tidur, alam mimpi, yang membuatku terus mengigau.

Ini curang, mereka bisa melihat dan mengikuti ku, tapi aku tak bisa melihatnya. Jangan-jangan, saat aku menatap tajam ke arahnya dengan sedikit melotot itu seperti seolah menantang atau malah memanggil dan membuatnya tertarik mengikuti ku.

Bisa jadi makhluk itu mengira bahwa aku bisa melihatnya, padahal tidak sama sekali. 

Ah mulai sekarang aku berjanji tak akan mau menantang ataupun berburu hantu lagi, apalagi melihatnya secara langsung. Hii amit-amit.

Perihal mengigau? Aku tak tahu apa-apa. Yang aku ingat, aku hanya bermimpi kemudian mulutku tiba-tiba berucap sendiri. Aku langsung sadar dan malu takut ada yang dengar, kemudian aku beristighfar dan membatin, "Kok aku ngomong sendiri ya saat lagi tidur? Hmm aneh". Lalu aku tidur lagi. Kejadiannya terus berulang. Entah di malam, siang, atau sore hari, yang aku ingat mataku seperti ada magnet yang menutupi tak mampu membuka mata.

Saat di ruqyah, aku benar-benar tidak sadar. Tentang aku berteriak, berontak, itu sama sekali bukan aku, sungguh aku tak ingat apa-apa.

Waktu ditanya kamu kenal ga sama Syaqeela? Aku memang membuka mata beberapa detik, kulihat semua orang sedang berkumpul. Ada ibu, saudara, juga ponakanku Syaqeela. Aku heran kenapa mereka berkumpul, dan sedang apa? Lalu aku tidur lagi, entah kenapa aku hanya mampu tidur dan tidur. (Itu juga alasannya aku dijuluki putri tidur)

Bagi sebagian orang aneh yang suka penasaran atas apa yang belum pernah dirasakannya, maka lebih baik mendengar langsung dari yang sudah pengalaman. Tak perlu nekat merasakannya sendiri, nanti menyesal.

Tentang bagaimana rasanya pingsan? Ternyata seperti tidur biasa.

Bagaimana rasanya kerasukan? Ternyata seluruh badan jadi beku, menggigil, mengigau, berteriak dalam tidur, tak sadarkan diri, tidur sepanjang masa, hilang akal seperti orang gila tak ingat apa-apa, tak ingat makan-minum-keluarga-teman apalagi ibadah. Mata terasa berat hanya mampu membuka mata beberapa detik lalu tertutup lagi. Terhalang untuk bangun, padahal kita ingin.

Terjawab sudah misteri ini, petualangan ku berburu sekaligus menantang hantu sudah dapat kurasakan walau tak bisa ku lihat dengan kasat mata. Cukup sekali dan semoga ini yang pertama dan terakhir. Aku tak mau melakukan hal bodoh semacam ini lagi.

Ternyata berburu hantu tidak seseru itu. Berburu hantu sama dengan menantang maut. Kehilangan kesadaran, akal, bahkan sampai jatuh sakit karena tak ada asupan gizi berhari-hari dibuatnya tertidur pulas.

Sejak saat itu Ayesha menjalani hari-harinya sebagai remaja yang normal dan mengubur jauh-jauh keinginan dan rasa penasarannya itu. Kemudian mereka melanjutkan latihan menari yang tersisa seminggu lagi.


*****


Masih tak dapat dipercaya bukan?


Keluarganya pun terheran-heran mengapa Ayesha bisa mengalami hal ini? Padahal dia terkenal sebagai seorang gadis yang taat, rajin beribadah juga mengaji. Tapi malah dirinya, satu-satunya di antara keluarga yang mengalami hal demikian. Itu sebab ulahnya sendiri.

Memiliki kecerdasan di atas rata-rata membuatnya selalu berpikir kritis, namun tak tersalurkan dalam wadah yang tepat. Hal ini membuatnya hilang arah, bertindak negatif dan tidak jelas. 

Begitulah sisi gelapnya Ayesha. Semoga dapat mengambil hikmahnya. Ambil baiknya, buang buruknya. Ini bukan cerita fiktif, fiksi, atau halusinasi berimajinasi. Lagi-lagi inilah kisah nyata trauma masa kecil yang cukup dan hanya boleh di alami oleh Ayesha saja. Intinya pikiran tidak boleh kosong atau melamun. Apalagi sok jagoan menantang dan berburu hantu.


TAMAT

 


(Gambar hanya ilustrasi)

Posting Komentar