Aku lelaki.
Suatu saat kaki kuatku tak mampu berdiri lagi. Suatu saat harga diriku tak
akan utuh lagi. Suatu saat aku ingin menangis dan berteriak kepada dunia. Oleh sebab
itu aku menulis. Menulis adalah caraku menangis. Jariku adalah degup jantung
kecewa. Kata adalah dengusan kasar di atas luka. Dan puisi adalah air matanya.
Bagiku, menulis
adalah cara terbaik untuk bersyukur melebihi apa yang mulut mampu ucapkan. Sebab,
dari itu aku mampu menggambarkan indah perihnya kehadiran seseorang dengan
ribuan kata-kata tentang lekuk-lekuk bibir yang indah. Tentang senyuman yang
lebih luar biasa dari senja. Tentang mata sendu yang menatap penuh cinta.
Tentang punggung yang tanggal, dan tentang seseorang yang pernah singgah.
Menulis adalah caraku menggambarkan bahagia dari sudut pandang yang berbeda.
Di lain hal, aku kerap menulis karena aku sadar terkadang ucapanku tak pernah lagi didengar. Terkadang kecewaku tak lagi dipedulikan. Bahkan, ada suatu ketika di mana pendapatku sama sekali tak diperhatikan. Seorang ulama' besar, Imam Al-Ghazali, pernah berkata, "Jika kau bukan anak seorang ulama' besar, bukan pula anak sang raja, maka menulislah".
Tulisanku adalah perihal apa yang aku rasa ketika mulut tak mampu berbicara, dan ketika telinga tak mampu mereka dengarkan. Dengan menulis aku belajar bahwa jangan karena masa lalu tidak sesuai dengan yang kita inginkan, bukan berarti masa depan tidak akan sebaik yang kita bayangkan.
Maka, menulislah.