Happy Birth Day, Pancasila!

Happy Birth Day, Pancasila!

Kini kau lebih setengah abad. Tetapi tahukah kau, sewaktu bocah, kami tak pernah diberi libur pada tanggal 1 juni. Saat itu, kami semua tak tahu kalau engkau dilahirkan pada hari ini, 79 tahun yang lalu itu. Boro-boro, kami bahkan tak pernah tahu kalau kau pernah dilahirkan.

Sebagai generasi yang diasuh oleh Orde Baru, kami hanya tahu bahwa kau sungguh-sungguh sakti, sehingga karenanya kami sejak dulu memperingati Hari Kesaktian Pancasila (yang hari-hari ini jadi kian terlupakan karena tergusur popularitasnya oleh Hari Batik Nasional). Waktu itu, kami hanya tahu bahwa kau sakti, dan kesaktianmu itu berkait lekat dengan peristiwa lancung yang terjadi sehari sebelumnya, pada tanggal 30 September.

Itu adalah hari yang dikenang sebagai Hari Pemberontakan. Ya, pemberontakan yang dilakukan oleh (atau dituduhkan kepada) satu gerakan yang menyebut diri sebagai Gestok (Gerakan Satu Oktober), menurut versi Bung Karno, atau G30S (Gerakan Tiga Puluh September), dalam versi Orde Baru. Orde Baru juga kerap menghubungkan gerakan ini dengan aktifitas PKI (Partai Komunis Indonesia), sehingga karenanya kami dulu lebih akrab dengan sebutan G30S/PKI.

Dulu aku sering merasa bahwa perayaan pada tanggal 30 September itu amat janggal. Betapa tidak, kenapa kita mesti diajak untuk memperingati peristiwa jahanam? Peristiwa pemberontakan?

Ya. Sungguh Aneh.

Karena bayangkan, apakah kaum muslimin juga memperingati peristiwa kematian Abu Jahal? Apakah orang Nasrani mengenang kehancuran Yudas Iskariot? Apakah kaum Sunni merayakan peristiwa pembunuhan Sayidina Umar? Apakah Syiah memperingati kematian Hajjaj bin Yusuf?

Tidak.

Sepertinya hanya Orde Baru yang terus dibuat baper dan karenanya merasa wajib untuk mengingat suatu kasus kriminal (pemberontakan). Untuk itu kami dulu juga dipaksa terus ingat melalui pemutaran film dramatisasi peristiwa hari itu secara nasional. Ingat, bahaya laten, katanya! Belakangan kami tahu (paling tidak melalui salah satu kacamata analisis alternatif), semua yang dilakukan Orde Baru itu adalah upaya-upaya politik Orde Baru untuk menakut-nakuti kami, sekaligus membonsai dan atau membikin kerdil musuh-musuh politiknya.

Itulah juga sebab, hai Pancasila, kenapa hari kelahiranmu tidak diperingati pada masa-masa itu. Ada beberapa orang bilang, peringatan hari pancasila diinisiasi oleh Orde Lama pada tahun 1964, tetapi kemudian dilarang Orde Baru di sepanjang masa kekuasaannya.

Itulah sebab, hai Pancasila, kenapa hari kelahiranmu tidak kami peringati masa-masa itu. Karena kau terlalu bau Sukarno, pemimpin dari sebuah rezim yang, dengan vulgar dan sembunyi-sembunyi, digusur oleh Soeharto. Saat membaca sejarah, kami lantas mengenal Pancasila ala Sukarno dan apapula bedanya Pancasila ala Soeharto. Sedemikian rupa, ibarat burung langka yang mustahil ternilai harganya, pemaknaan atasmu diperebutkan: digunakan sebagai alat politik untuk membenarkan kebijakan (tapi juga kejahatan) sebuah rezim politik.

Happy Birth Day, Pancasila!

Kelahiranmu adalah buah dari kompromi politik yang tak habis-habis. Seperti dalam catatan wasiat yang pernah ditulis oleh Bung Hatta, mulanya kau diaktualkan oleh Sukarno dalam sebuah pidato pada tanggal 1 Juni 1945. Pidato itu sekaligus menjawab pertanyaan dari salah satu anggota Badan Penyelenggara Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Dr. Radjiman Wedyodiningrat, tentang apa dasar dari negara yang mau didirikan ini?

Ada beberapa rumusan lain, memang, seperti milik Muhammad Yamin dan kepunyaan Soepomo, tetapi Sukarno-lah yang menggelorakan lima dasar (panca sila): (1) Kebangsaan Indonesia; (2) Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan; (3) Mufakat atau Demokrasi; (4) Kesejahteraan Sosial; dan (5) Ketuhanan Yang Maha Esa.

Serangkaian diskusi, lalu juga barangkali perdebatan yang berujung pada kompromi, menghasilkan apa yang hari-hari ini kita hafalkan sebagai pancasila itu: (1) Ketuhanan yang maha esa; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyah Indonesia.

Istilah kompromi perlu ditegaskan di sini sebab saat itu perdebatan politik, dari pelbagai kubu perwakilan bangsa Indonesia, berlangsung amat sengit. Kita semua ingat, sila pertama mulanya berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Diskusi, lalu juga kompromi yang melibatkan kerelaan dan keridaan para pendiri bangsa untuk melepaskan ego-sektoralnya masing-masing.

Happy Birth Day, Pancasila!

Hari-hari ini, aku merasa kompromi politik yang serupa membuatmu tampak acakadut. Hari kelahiranmu diperingati, tetapi esensimu seperti sudah lebih tua ketimbang usiamu itu sendiri.

Karenanya aku teringat sebuah sajak yang pernah ditulis oleh Gus Iim (KH. Hasyim Wahid, adik kandung Gus Dur) dengan judul "Trias Politica":

Politik nasional ibarat
fim porno XXX:
eksekutif legislatif judikatif
dirantai disetubuhi disodomi oleh sila utama
Keuangan Yang Maha Esa!

Sajak itu juga mengingatkanku pada sarkasme atas namamu, dan karenya disebut "Panca Gila":

1. Keuangan yang Maha Esa
2. Kebinatangan yang Degil dan Biadab
3. Perseteruan Indonesia
4. Kekuasaan yang dipimpin oleh nikmat kepentingan dalam perkerabatan/perkawanan
5. Kelaliman sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Demikianlah, Happy Birth Day, Pancasila. Aku selalu merindukan tidur pulas di bawah selimut sayapmu. Atau aku senantiasa membayangkan bau harum dari ketekmu.

Pemintal Aksara

Posting Komentar