Di sana, kudapati mata air yang tercemar berbagai kisah dari kumpulan air mata.
Sedih tiada tara,
datang tak disangka,
langit menangis membasahi daun-daun layu yang tak berdaya menampung segala lara.
Rimpun debu menyelimuti kaca tak berhias. Kepingannya seakan memberitahu jari agar tak menyentuh ujung tajam yang dapat melukai. Seakan ada jiwa yang bersemayam di dalamnya.
Jiwa itu adalah satu dari sekian banyak rupa yang dipantulkan cermin dan membentuk bayangan Yaksa.
Bayangan itu tampak jelas sedang menyisir rambut ikalnya yang kusut tak terurai. Wajahnya datar, kulitnya pucat, dan tatapan matanya seakan berkata, "Menjauhlah! Pergi dari sini".
Mataku terbelalak, terdiam, termangu, kakiku hampir tak kuasa melangkah tuk menjauh lalu pergi dari sana.
"Apa itu?,"
"Apa yang kulihat?,"
"Bayangan dari jiwa yang terluka?," ujar batinku.
Kulihat cairan merah yang menetes deras dari dadanya. Seolah pisau telah menghujamnya.
"Apakah kata-kata telah melukainya?,"
"Apa yang menjadi penyebab ia terluka?,"
"Sebanyak apa sayatan yang berbaris di sana?,"
"Sejauh mana ia bisa menahan segala ketidakberdayaan yang datang padanya?,"
"Mengapa ia tak mengobatinya dengan cinta?,"
"Apakah karena cintalah ia tak berdaya?,"
"Apakah cinta atau caranya yang salah?,"
"Sungguh bayangan malang nan terlara." Gumamku memikirkan alasan di balik hadirnya sang bayangan.
Semenanjung kata hanyalah penyedap rasa, bagai garis cembung tujuh warna yang memukau dunia.
_Mahabbah_