Blank Page Syndrome dan Seikat Resep

Sewaktu wisuda strata satu, saya sama sekali tak meraih kalungan bunga.

Itu adalah 2014, tahun keramat bagi Profesor Aflatun Muhtar. Pada tahun inilah beliau berhasil menabalkan nama, jas, dan logo baru bagi Raden Fatah; bukan lagi IAIN, tapi UIN; tak lagi jas hijau kelam, tapi biru terang; bukan logo yang sekilas tampak seperti kembang teratai, tetapi logo dengan negative space yang dipaksakan dan lebih mirip dengan pesawat ulang-alik tua yang karatan; serta kamar kecil yang tetap begitu-begitu saja, tak ada tapi-tapian.

Pada tahun itulah juga saya resmi tak lagi menjadi mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat (yang beberapa tahun sebelumnya berubah nama menjadi Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, setelah berhasil menyusupkan konsentrasi Tasawuf dan Psikoterapi). Saya ingat, saat itu Indeks Prestasi Komulatif (IPK) saya tidak buruk-buruk amat, bahkan cukup lumayan dibanding seluruh mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam yang mengikuti Yudisium. Tapi tetap saja saya tak berhak menyandang gelar mahasiswa terbaik, meski dengan IPK tertinggi sekalipun. Kenapa?

Saya selalu berupaya untuk berdamai dengan diri sendiri dengan menjawab pertanyaan tersebut melalui tudingan yang menyalahkan BLANK PAGE SYNDROME.

 

Saya dan Blank Page Syndrome

Blank Page Syndrome adalah apa yang beberapa orang mengenalnya sebagai Writer’s Block: kondisi ketika seorang penulis kehilangan kemampuan untuk menghasilkan karya baru, atau mengalami perlambatan kreatif (condition in which an author loses the ability to produce new work or experiences a creative slowdown). Disebut writer’s block karena kondisi ini seperti memaksa seorang penulis berhadapan dengan gang buntu; ia seperti tak bisa berjalan kemana-mana lagi (baca: menemukan gagasan dan menuliskannya kembali). Disebut blank page syndrome sebab dalam kondisi ini kepala seseorang seperti melompong, kering ide dan gagasan, tak ubahnya kertas kosong atau citra putih di dalam monitor (blank page).

Alih-alih memakai writer’s block sebagai judul, saya lebih suka menggunakan diksi blank page syndrome karena saya tidak kepingin berbesar kepala dengan menyebut diri sendiri sebagai penulis, atau terlebih karena ‘penyakit’ ini --kalau boleh disebut demikian-- sesungguhnya tidak saja membidik orang-orang yang berprofesi sebagai penulis (atau sekurang-kurangnya orang yang so called penulis), tetapi juga siapa saja yang bekerja di dunia kreatif.

Ingat Adele? Ya, pelantun tembang Don’t You Remember dan Someone Like You itu juga pernah mengalami blank page syndrome. Itulah sebabnya mengapa antara rilis album 21 (2011), yang membuatnya menyabet banyak penghargaan, dengan album 25 (2015) berentang waktu cukup jauh: kurang lebih 4 tahun. 

 


Anda bertanya, bukankah Adele, sebagai penulis lagu, juga boleh disebut writer? Bukankah tepat mengatakan bahwa Adele juga diserang writer’s block? Betul, tetapi ingatlah bahwa ada juga seorang pekerja kreatif, yang bukan berlatar belakang sebagai penulis, yang juga pernah mengalami kebuntuan yang serupa. Sebut sebagai misal, Charles M. Schulz, seorang kartunis.

Saya bergulat dengan kebuntuan kreatif ini selama hampir dua tahun penuh. Itu adalah masa-masa paceklik yang cukup sulit.

Sebelumnya, sebagai mahasiswa, saya berkali-kali memenangkan penghargaan menulis. Hampir setiap tahun (dan dalam satu tahun bisa dua sampai empat kali), ada saja event perlombaan, tingkat nasional maupun lokal, yang saya akhirnya beroleh nomor. Jujur saja, saya merasa perlu mengejar kemenangan-kemenangan itu semata untuk membiayai hidup. Betapa tidak, saya mahasiswa, tetapi selain itu, pada semester 5, saya juga menikah. Sementara pekerjaan masih serabutan, saya juga mesti kuliah (kelas reguler pula, bukan kelas reguler khusus yang waktu itu menjadi pilihan “orang-orang tua” macam saya). Jadi saya hidup dari hadiah ke hadiah. Nominalnya bisa beragam. Pada masa-masa itu saya juga aktif menulis di media massa (bahkan saya masuk dalam list penulis Kompas).

Lalu tibalah 2012. Masa perkuliahan teoritis telah usai. PPL dan KKN sudah rampung. Saya bahkan telah mengajukan proposal penelitian skripsi dan sudah melalui persidangannya. Hanya saja, tak lama setelahnya, entah kenapa kepala saya seperti membeku. Saya memaksa diri menghadap komputer, tapi jemari saya enggan bergerak, meski sudah saya paksa juga. Saya tetap mengumpulkan dan menelaah bahan-bahan skripsi, tapi bacaan-bacaan tersebut tak pernah menolong saya, malah justru membikin otak saya bengkak.

Saya tidak betul-betul ingat apa sebetulnya yang membuat saya jadi seperti itu. Saya hanya dapat mengingat bahwa pada saat itu saya seperti sangat sensitif, terutama apabila ada yang menyinggung ihwal tulis menulis dan apalagi skripsi. Istri saya pernah saya bentak-bentak hanya sebab ia mengingatkan agar saya cepat-cepat menggarap tugas akhir. Saya tak pernah ke kampus lagi, karena bertemu dosen pembimbing akan membuat saya kian menderita, apalagi mendapat kabar bahwa kawan A berhasil munaqasyah, atau kawan B tak lama lagi akan wisuda. Sesak!

Saya pun menghabiskan waktu dengan apa saja, kecuali bersentuhan dengan segala hal yang berbau huruf atau buku. Saya masih menyalakan komputer, tetapi yang saya pelototi adalah game. Terus begitu, berulang-ulang dari malam ke malam, sampai saya merasa jenuh dengan seluruhnya yang sudah saya coba. Saya berpikir, apalagi? Di tengah pertanyaan dalam rangka mencari ragam “foya-foya” yang lain, selain game, nonton, jalan-jalan, rokok-rokokan, dan lain-lain dan dan sebagainya, tiba-tiba terbersitlah kata: MENULIS.

Mulanya saya enggan. Ada sesuatu yang seperti membisik, “Sudahlah, tak usah menulis, kamu bakal tak sanggup.” Tetapi di sisi lain, muncul pertanyaan, “Nak ngapoi lagi? Game? Nonton? Ah, bosan!” Maka dengan rasa yang berat, dan dengan beban seolah seperti baru belajar menulis lagi, saya mulai merangkai skripsi.

Setelah beberapa paragraf, alhamdulillah was syukru lillah, semua berjalan lancar. Kamar kerja pun saya kunci rapat, dan buku-buku bahan skripsi saya biarkan berserakan di lantai (saya bahkan melarang istri saya membersihkan kamar tersebut sampai skripsi saya kelar). Dan dalam dua pekan, dari suasana ruangan yang ancur-ancuran, draft utuh skripsi saya pun selesai.



Neurosis vis a vis Procrastination

Apakah blank page syndrome betul-betul sebuah sindrom?

Ini problem cukup serius; masalah yang menjadi pertanyaan dan kemudian juga perdebatan sejak berwindu-windu lampau.

Orang yang pertama kali men-diskursus-kan kebuntuan kreatif adalah Edmund Burgler (w. 1962). Psikoanalisis Austria yang tinggal di New York ini, dalam bukunya The Writer and Psychoanalisys (1949), mendeskripsikan writer’s block sebagai sabotase diri (self-sabotage) atau masokisme psikologis (psychic masochism). Ini berarti Burgler percaya bahwa blank page syndrome merupakan salah satu bentuk dari kelainan kejiwaan yang diidap oleh seorang penulis.

Sebagai sebuah sindrom psikologis, laiknya sindrom-sindrom lainnya macam phobia, blank page syndrom dapat dirunut asal-muasalnya pada pengalaman hidup orang yang mengalaminya (originated in early life experiences). Pengalaman-pengalaman buruk yang mengendap di bawah sadar inilah yang kelak membuat seseorang merasa terus menerus terhantui, dan berikutnya menemukan pelampiasan pada upaya untuk menyakiti diri sendiri.

Seorang neurologis Alice W. Flaherty, dalam bukunya The Midnight Disease: The Drive to Write, Writer's Block, and the Creative Brain (2004), berpendapat bahwa daya kreatif di bidang kepenulisan berakar pada sebuah fungsi dalam beberapa area spesifik di dalam otak. Menurutnya, kondisi writer’s block berkaitan dengan kerusakan atau sekurangnya permasalahan yang terjadi pada area tersebut (NEUROSIS).

Pendeknya, kebanyakan ahli menghubungkan kondisi blank page syndrom ini dengan tekanan kejiwaan (psychic pressure). Depresi akibat putus hubungan, tekanan keuangan, perasaan gagal, atau bahkan penyakit-penyakit fisik disebut-sebut sebagai beberapa penyebab (causes) dari kebuntuan kreatif.

Mengerikan? Tidak juga!

Seturut pengakuannya, penyanyi dan penulis lagu Adele —yang telah disinggung di muka— justru didera writer’s block pada saat kegembiraan melingkunginya. Blank page syndrome justru menghinggapinya sewaktu ia merasa tidak dirundung kesedihan sama sekali (waktu itu Adele baru memiliki anak, dan bayangkan betapa bahagianya menjadi seorang ibu). “I’ve never been happier,” katanya, “And I’ve never been healthier”.

Ini berarti orang bisa saja ketawa-tawa di luar kehidupan kreatifnya. Orang bisa juga menyelesaikan seluruh tanggung jawab rumah tangga dan atau pekerjaanya, tanpa sama sekali menghasilkan tulisan satu pun dalam setahun. Hanya saja, bukankah aneh, dalam kondisi segar bugar macam itu, orang hanya kehilangan kemampuannya untuk menulis? Apakah ia betul-betul diserang blank page syndrome, ataukah ia hanya beralasan belaka untuk menyamarkan ketidakbecusannya menulis melalui argumentasi “saya sedang diserang writer’s block”?

Pertanyaan-pertanyaan macam itu membuat beberapa orang curiga bahwa writer’s block bukanlah perkara riil. Kalau memang nyata, seharusnya di bidang-bidang lain juga mestinya terdapat kondisi buntu macam itu. Maka seorang kuli bangunan pemalas pun boleh saja menolak untuk bekerja dengan dalih kuli’s block; seorang pilot yang sembrono, yang sebab kelalaiannya membikin celaka penumpang, sah-sah saja beralasan dengan, “maaf, tiba-tiba saja saya diserang pilot’s block”.

Nyatanya, kasus-kasus macam itu tak pernah terdengar.

Alih-alih sebuah neurosis, writer’s block sesungguhnya hanya dalih untuk tak menulis. Beberapa banyak pengkritik teori blank page syndrome sampai pada ujung kesimpulan yang menghubungkan antara kondisi kebuntuan produktif dengan kemalasan (laziness) dan penunda-nundaan (PROCRASTINATION).

Prokrastinasi alias penundaan ini seringkali membonceng sikap meremehkan terhadap sesuatu. Ambil misal, saat sedang asyik-asyiknya nonton film, Anda teringat bahwa sepekan lagi tugas makalah filsafat mesti dikumpulkan. Anda bilang pada diri sendiri, “Ah, nanggung, masih banyak waktu juga! Tugasnya mudah saja kok!” Besoknya, hal yang sama Anda ulangi lagi, mungkin dengan aktifitas lain, taruhlah main bola. Lalu besoknya lagi; malam mingguan. Dan seterusnya sampai hanya tersisa satu hari.

Sadar akan keterdesakan, Anda bertekad untuk sekuat tenaga menyelesaikan tugas hari itu juga, kalau perlu sampai dini hari sekalipun. Di tengah-tengah proses menulis, tiba-tiba saja pikiran Anda buntu; Anda merasa tugas tersebut tak semudah yang Anda bayangkan sebelumnya. Anda Stack, dan lalu Anda tutup laptop Anda sembari memutuskan untuk tidak masuk kuliah esok harinya; pura-pura sakit. Atau tidak? Anda tidak menutup laptop, akan tetapi Anda terlanjur tergoda untuk mengulik google. Dan, simsalabim, dalam sekejap mata tugas Anda selesai berkat memplagiasi (copy paste) tulisan orang lain. Ya, mencuri!!!

Ilustrasi di atas adalah ciri lain dari prokrastinasi, yakni distraksi (keteralihan). Bahwa sedemikian rupa seseorang akhirnya gagal menyelesaikan tugas akibat terbelokkan pada aktifitas-aktifitas lain di luar goal (tujuan akhir) yang telah ditetapkan.

Dari beberapa uraian di atas, yang baru saya peroleh bacaannya beberapa lama setelah saya mengalami stack kepenulisan, saya kok jadi malu kalau mau menyebut apa yang pernah saya alami itu sebagai writer’s block atau blank page syndrome. Ini bukan berarti saya tidak percaya pada pendapat-pendapat seperti yang diketengahkan oleh para ahli macam Burgler dan Flaherty, tetapi lebih karena apa yang pernah saya alami itu lebih cenderung pada tanda-tanda prokrastinasi, atau malah yang lebih buruk; kemalasan saya sendiri.

Dalam hal pengalaman saya, sekali kita bersua dengan kebuntuan kreatif --apapun motif dan musabab yang mendahuluinya, sekali itu pula kita akan didera oleh “cobaan” bertubi-tubi yang membuat proses kreatif kita kian lama kian buntu. Dikejar deadline, kita lantas diburu rasa takut dan lalu berkata pada diri sendiri, “skripsiku belum juga selesai padahal beberapa hari lagi aku memasuki semester 10?” Mengingat wajah bengis reviewer, kita lalu khawatir, “jangan-jangan, kata ini atau paragraf itu bakal ditolak pembimbing?” Menghasratkan hasil karya yang sempurna, kita selanjutnya berpikir negatif, “kok diksi-diksiku berantakan begini, gak sebagus punya si Anu?”

Percayalah, segala bentuk ketakutan dan kekhawatiran (fearness) macam itu tak akan pernah menyelesaikan kendala-kendala kreatif kita.



Tawaran Resep

Sewaktu dihadapkan pada kondisi kebuntuan kreatif seperti telah dibahas, apakah kita perlu menganalis diri dengan, misalnya, bertanya, “Apakah saya sedang diserang blank page syndrome? Apakah saya depresi? Apakah saya terlalu capek? Apakah saya terlalu malas?”, dan pertanyaan-pertanyaan yang lain?

Beberapa orang menjawab, tak perlu, dan saya setuju dengan pendapat itu. Kenapa? Sebab upaya-upaya mendiagnosa diri semacam itu hanya akan membuang-buang waktu, selain makin menambah keruwetan bagi otak kita. Ujung dari pertanyaan-pertanyaan seperti itu sudah jelas; menjustifikasi (membenarkan) kerapuhan diri kita sendiri; sesuatu yang mestinya kita lawan habis-habisan!

Menyatakan diri bahwa “otakku buntu!” atau “aku kena writing block!” sama saja dengan mendeklarasikan diri untuk tidak menulis sama sekali. Ini tak jauh berbeda dengan alasan seseorang yang, dalam sebuah kesempatan, menyatakan diri sembari mengeluh, “Aku tak punya bakat menulis sama sekali”. Dengan berkata demikian, orang itu sesungguhnya telah melahirkan sugesti untuk membunuh potensinya sendiri; mengorbankannya untuk dipersembahkan kepada setan yang bernama kemalasan.

Untuk dapat menulis, Anda tak perlu menunggu jadi Anton Chekov, atau Pramoedya Ananta Toer, atau Tere Liye, atau siapapun. Untuk menjadi penulis, Anda hanya perlu menulis! (Untuk dapat menyelesaikan skripsi, Anda hanya perlu segera mulai menuliskannya!) Soal kualitas tulisan Anda baik atau buruk, itu urusan yang berbeda. Pada bagian sebelumnya sudah dibahas, sikap khawatir yang berlebihan terkait komposisi tulisan kita, bagaimana respon pembaca atas karya-karya kita, dan sebagainya, dan lain-lain, hanya akan membuat kita semakin buntu.

Ini bukan berarti saya abai pada karya-karya bermutu. Ini juga bukan berarti bahwa saya sepakat dengan pandangan beberapa motivator kepenulisan ketika mereka ditanya, “Bagaimana kita bisa menulis bagus?” Mereka menjawab, “Mengalir saja, nanti tulisanmu akan bagus dengan sendirinya!”

Tidak. Saya tak pernah sepakat dengan pernyataan semacam itu. Kenapa?

Sebab Christiano Ronaldo berbeda dari Warimin (pemuda di kampung saya), meski usia mereka setara dan keduanya sama-sama memiliki bakat bermain bola. Ronaldo dibesarkan dengan teknik, dan diasah melalui pelatihan serta disiplin yang keras, sementara Warimin? Ia tumbuh dengan bakat alamiah, tetapi tak pernah mengalami kawah tantangan yang lebih dalam. Maka jadilah Ronaldo pemain bola kelas dunia dan Warimin yang tetap pemain bola kelas lempung.

Tapi tentu saja, sekedar mempelajari teknik-teknik menulis yang baik, tanpa sama sekali upaya untuk mencelupkan pena dan mengguratkannya di atas kertas (atau memijit keyboard?), hanya akan mengarahkan Anda menjadi semacam komentator sepak bola. Adakah komentator kelas dunia?

Scribo ergo sum. Mulailah menulis! Mulailah belajar menulis yang baik! Menulislah, maka ada! Dengan begitu, pertanyaan-pertanyaan seperti, “apa yang harus saya tulis? bagaimana saya semestinya menulis? saya harus memulai dari mana? apa yang harus dilakukan ketika kehilangan inspirasi sama sekali? dan pertanyaan-pertanyaan yang lain” tidak lagi relevan.

Kalaupun pertanyaan-pertanyaan semacam itu masih saja mengganggu, kita bisa mencoba beberapa resep dari beberapa penulis kondang di bawah ini:

Pertama, terapkan strategi tiga kata. Ini adalah cara paling mudah yang dapat kita lakukan saat memiliki niatan untuk menulis tetapi tak tahu harus memulai dari mana dan atau mesti menulis tentang apa. Jadi, bayangkan tiga kata, apa saja, secara random (acak). Selanjutnya, mulailah menulis dengan menggunakan salah satu dari ketiga kata tersebut. Sebagai contoh, secara spontan saat ini juga, saya menemukan tiga kata; “kucing, ayam, kambing”. Kalimat yang dapat saya tuliskan dari ketiga kata tersebut adalah; “Kucing betina milik tetangga saya berhubungan gelap dengan ayam saya. Sebulan kemudian, pasangan selingkuh tersebut melahirkan bayi imut berupa kambing bencong.”

Strategi yang diperkenalkan oleh AS Laksana ini menurut saya amat manjur, terutama untuk mendobrak kebekuan otak di permulaan proses kreatif atau untuk mendapatkan kalimat dan juga paragraf yang tidak biasa-biasa saja (seringkali bahkan nyentrik dan aneh, meski bernas). Kita bisa mengembangkan strategi ini menjadi, misalnya, strategi sepuluh kalimat, di mana kita tulis secara acak apa saja yang terpikirkan di benak kita, dan kesepuluh kalimat tersebut selanjutnya dapat kita fungsikan ke dalam apa saja; judul, kalimat pembuka sebuah paragraf, tema skripsi, dan lain-lain.

Kedua, tetapkan tenggat (deadline) dan berjanjilah untuk konsekuen. Ini adalah saran dari Dee (Dewi Lestari), penulis serial novel Supernova, ketika ditanyakan kepadanya apakah dia pernah dihinggapi writer’s block atau semacamnya. Ia merespon negatif karena menurutnya ia bekerja berdasarkan tenggat, dan ia berupaya untuk jujur terhadap dirinya sendiri.

Deadline sesungguhnya sangat problematis. Selain memicu kekhawatiran yang bisa saja malah berbalik menjadi hantaman blocking bagi penulis, seperti disebut pada bagian sebelumnya, seringkali karena deadline inilah tulisan seseorang jadi asal-asalan (ini biasanya terjadi pada tulisan wartawan media cetak yang selain dikejar-kejar oleh tenggat juga diburu oleh jumlah berita). Akan tetapi deadline, selagi kita konsekuen, adalah cara untuk mendisiplinkan diri sendiri, yang karenanya kita dapat menyelesaikan tulisan tepat waktu. Contohlah al-Thabari; karyanya yang sampai berjilid-jilid tersebut tak lain karena ia berhasil mendisiplinkan diri untuk menulis. Konon, di sela-sela rutinitasnya yang padat, al-Thabari mewajibkan dirinya sendiri untuk menulis minimal empat lembar dalam sehari.

Ketiga, kuasai masalah atau topik yang hendak ditulis. Ini mutlak diperlukan karena apa yang mau kita tulis kalau di kepala kita tidak terbayangkan sama sekali sesuatu yang hendak kita tulis? Kita bisa saja memecah kebekuan dengan strategi tiga kata, misalnya, tapi selanjutnya apa? Berulangkali saya mendengar cerita orang yang, setelah berhasil menuliskan satu atau dua paragraf, tiba-tiba idenya kering dan ia tak tahu hendak melanjutkan menulis apa. Ini akibat ia tidak menguasai bahan atau obyek yang hendak ia tulis; ia awalnya sangat bergairah karena merasa menemukan gagasan brilian, tapi setelah proses penulisan berjalan beberapa lembar, gagasan itu seolah-olah mengering. Stack!

Cara terbaik untuk mendalami obyek tulisan adalah mengadakan riset kecil-kecilan terhadapnya, dan kemudian meng-inkubasinya ke dalam, sebut saja, sebilah outline. Outline inilah yang kelak berfungsi sebagai guide atau main maping yang memandu kita dalam proses penulisan. Riset yang saya maksudkan di sini adalah terutama dengan memperbanyak bacaan di seputar topik yang hendak ditulis.

Keempat, santailah sejenak, meski jangan lupa tugas utama. Ketika, di tengah proses kreatif, kita mengalami kebuntuan, itu bisa saja akibat kepala kita terlalu lelah. Para motivator penulisan di Barat menganjurkan untuk, dalam kondisi seperti ini, tutuplah sejenak buku-buku dan lalu berjalan-jalanlah, atau bikinlah kopi, atau nontonlah tivi. Pendeknya segala hal yang menurut kita dapat membuat kita lupa sebentar pada hiruk pikuk gagasan yang membebani otak kita. Tapi ingat, sebentar saja, atau secukupnya belaka. Setelah kita merasa bahwa fisik kita sudah cukup siap untuk melanjutkan proses penulisan, segera kerjakan, jangan menunda-nunda lagi! ingat distraksi dan prokrastinasi!

Ala kulli hal, ketika segala resep ihwal kepenulisan sudah kita coba, akan tetapi kita merasa masih begitu-begitu juga, maka penting kiranya mempertimbangkan beberapa solusi yang pernah kita temukan dalam tradisi (Islam), misalnya cerita tentang writer’s block yang dialami oleh Imam Ibn Malik (penggubah kitab alfiyah ibn malik yang amat populer di dunia pesantren).

Suatu Setelah menyenandungkan pepujian kepada Allah dan Rasul-Nya, Ibnu Malik dalam mukaddimah alfiyah-nya menulis:

وَأسْتَـعِيْنُ اللهَ فِيْ ألْفِــيَّهْ # مَقَاصِدُ الْنَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ

(Dan aku memohon kepada Allah untuk kitab Alfiyah, yang dengannya dapat mencakup seluruh materi Ilmu Nahwu)

تُقَرِّبُ الأَقْصَى بِلَفْظٍ مُوْجَزِ # وَتَبْسُـطُ الْبَذْلَ بِوَعْدٍ مُنْجَزِ

(Mendekatkan pengertian yang jauh dengan lafadz yang ringkas serta dapat memberi penjelasan rinci dengan waktu yang singkat)

وَتَقْتَضِي رِضَاً بِغَيْرِ سُخْطِ # فَـائِقَةً أَلْفِــــيَّةَ ابْنِ مُعْطِي

(Kitab ini menuntut kerelaan tanpa kemarahan, melebihi kitab Alfiyah-nya Ibnu Mu’thi)

Sampai di bait ini, Ibnu Malik hendak menjelaskan kepada pembaca bahwa kitab yang akan dikarangnya tersebut lebih unggul daripada kitab alfiyah dalam fan ilmu yang sejenis. Tentu saja, yang dimaksud Ibnu Malik adalah alfiyah karya ulama sebelumnya, yakni Yahya ibn Abdil Mu’thi ibn Abdin Nur Az-Zawawi al-Maghribi atau biasa dikenal dengan Ibnu Mu'thi. Ibnu Malik pun meneruskan bait keenam:

.............. # فَائِقَةً لَهَا بِأَلْفِ بَيْتٍ

(Mengunggulinya dengan seribu bait,…....)

Tepat pada saat usai menulis kalimat tersebut, Ibnu Malik merasa stack. Buntu laik terganjal batu. Padahal, seperti direncanakannya, kitab ini adalah sebangsa alfiyah (yang berarti seribuan; maksudnya seribu bait). Tapi masih di-bait kelima, atau hampir saja menuntaskan bait keenam, Ibnu Malik sudah merasa seperti tak kuasa meneruskan.

Kondisi tersebut berlangsung berhari-hari, sampai suatu ketika, Ibnu Malik mimpi bertemu seseorang yang tiba-tiba saja bertanya:

“Aku dengar, kau sedang menggubah kitab alfiyah dalam ilmu nahwu!?”

“Betul,” jawab Ibnu Malik.

“Sudah dapat berapa!? Sudah sampai mana!?” Tanya orang itu lagi.

“Baru sampai di bagian faiqatan laha bi alfi bait.”

“Kenapa tidak kau selesaikan?”

“Entahlah. Tiba-tiba saja aku merasa lesu, tak mampu menuntaskannya.”

“Kau ingin menyempurnakan bait itu?”

“Ya. Tapi tak mampu.”

Seperti membantu Ibnu Malik menuntaskan baitnya, orang di dalam mimpi itu pun merapal sepenggal bait. Atau, ia seperti sedang menyeru Ibnu Malik agar, tuntaskanlah baitmu tersebut dengan ini:

واْلحَيُّ قَدْ يَغْلِبُ أَلْفَ مَيِّتٍ # .............

(....., Satu orang yang hidup memang terkadang bisa menaklukkan seribu orang mati)

Waktu itu Ibnu Mu’thi memang sudah wafat. Jadi, bait yang dibacakan oleh orang dalam mimpi Ibnu Malik itu sebetulnya menyindir Ibnu Malik sendiri. Ya, mana mungkin orang yang sudah mati dapat membalas kritik, hujatan, atau kesombongan orang yang masih hidup?

“Apakah betul engkau Ibnu Mu’thi?” Ibnu Malik memberanikan diri bertanya pada orang di dalam mimpinya.

“Ya. Aku Ibnu Mu’thi.”

Masya Allah, tak terkira malunya Ibnu Malik pada saat itu. Pagi hari setelah mimpi yang tak mengenakkan tersebut, Ibnu Malik pun menghapus nazham yang direncanakannya berbunyi faiqatan laha bi alfi bait. Dan sampai hari ini, bait keeenam dan ketujuh dalam alfiyah Ibnu Malik akan terbaca:

وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً # مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ

(Beliau [Ibnu Mu’thi] lebih istimewa karena lebih awal. Beliau berhak atas sanjunganku yang indah)

وَاللَّهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ # لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ

(Semoga Allah melimpahkan karunianya yang luas untukku dan untuk beliau pada derajat-derajat tinggi di akhirat)

Demikianlah, percaya atau tidak, apa-apa yang menghambat perjalanan kita, termasuk di dalamnya perjalanan kita dalam berproses kreatif, bisa saja berhubungan dengan sisi-sisi transendental yang tidak kita sadari. Pernahkah Anda tiba-tiba saja mengalami kegelisahan tak menentu, dan Anda tak tahu apa sebabnya? Saya pernah, bahkan sering. “Ketika kamu mengalami hal seperti itu lagi,” guru saya dulu berpesan, “maka perbanyaklah ber-istighfar. Sebab itu bisa saja merupakan efek dari dosa yang baru saja kamu lakukan tetapi kamu tak menyadarinya.”

Wallahu a’lam bis shawab.

Turabul Aqdam

Lukman hakim Husnan

Pemintal Aksara

Posting Komentar