Jumat berkah - Di awal tahun 2000an, teknologi telepon seluler mulai merambah dusun kami, Pulau Rimau. Mulanya hanya orang berduit saja yang mampu memiliki. Itu pun masih belum jadi 'seluler', sebab hapenya harus ditempelkan pada kabel yang terhubung dengan antena yang terpasang di tiang tinggi. Merek Nokia masih merajai saat itu, yang layarnya hanya satu warna dengan fiturnya yang hanya panggilan telepon dan pesan singkat sms saja. Luar biasanya, satu nomor telepon serasa milik orang satu kampung, atau malah satu kecamatan, sebab orang menelpon dan menerima telepon dengan satu-satunya hape ini. Tentu dikenakan biaya.
Menjelang medio 2000an, semakin banyak warga yang mempunyai hape, terutama generasi muda. Mereka rela menjual hasil panen padi satu musim untuk membeli hape. Namun, berdasarkan analisis Pakde Bardi (beliau adalah paman saya, almarhum), ada tiga problem yang dihadapi oleh pengguna hape di Pulau Rimau saat itu. Pertama, listrik PLN belum masuk desa, sehingga penerangan listrik masih mengandalkan mesin diesel. Itu pun hanya dinyalakan dari maghrib sampai tengah malam. Tidak semua orang memasang listrik diesel di rumahnya. Kedua, sinyal seluler yang sangat buruk di sana. Hanya ada beberapa spot, terutama jalan poros, yang memiliki sinyal kuat. Ketiga, paket pulsa telepon dan sms yang sangat mahal. Kecuali, dari tengah malam sampai jam tujuh pagi yang diberikan gratis telpon oleh beberapa operator seluler.
Maka, dari tiga masalah tadi, masih menurut Pakde Bardi, ada gejala sosial menarik di Pulau Rimau saat itu. Pertama, gejala manusia laron, saat para pemilik hape yang tidak memasang listrik di rumah mereka menitipkan hape untuk dicas di rumah-rumah yang memiliki listrik. Disebut laron karena seperti laron, mereka mendatangi sumber cahaya. Kedua, setelah baterai penuh atau saat diesel dimatikan di tengah malam, mereka akan mencari spot dengan sinyal kuat dan menggunakan layanan gratis nelpon untuk menelpon siapapun. Iya, menelpon di tengah malam. Muda-mudi biasa 'yang-yangan' malam-malam saat itu. Maka, pagi hari mereka lelah sehingga aktifitas harian mereka terganggu.
Oleh Pakde Bardi, fenomena ini diistilahkan dengan fenomena bom plastik (dalam bahasa Jawa, atom berarti plastik dalam bahasa Indonesai). Beliau menyebutkan, bom atom merusak lingkungan, bom plastik merusak mental. Kami yang waktu itu masih duduk di bangku sekolah menengah pertama hanya tertawa mendengar pemaparan Pakde Bardi yang sok intelek ini.
Namun, makin ke sini, bom plastik yang disebutkan Pakde Bardi makin terasa. Banyak anak muda menjadi cuek dengan lingkungannya. Namun, mereka sangat perhatian dengan hape dan si 'yang' yang entah siapa dan di mana itu. Maka, sampai saat ini, di kampung kami, kalau ada orang yang disibukkan dengan hape, disebutlah bahwa mereka 'terkena bom plastik.'
Bom plastik telah menjelma menjadi bom plastik pintar saat ini. Setiap batang hidung memilikinya, merasakan manfaatnya, sekaligus ledakan efek negatifnya yang membahayakan. Berapa banyak anak muda yang menjadi antisosial, nolep (no life), karena bom plastik. Berapa banyak waktu rapat para aparat, anggota dewan, yang tidak bisa fokus karena bom plastik. Berapa banyak waktu berharga siswa dan pelajar yang hilang sia-sia karena media sosial dan game online. Tidak sedikit yang mencari perhatian dan sensasi dengan mempertontonkan aurat di medsos.
Anak-anak terlena dari mengaji karena game. Mereka rela mengisi top-up game dengan uang yang tidak sedikit, dan diamini oleh orangtua mereka. Sementara untuk biaya mengaji mereka sangat perhitungan. Judi online meledak di mana-mana, tanpa pandang usia dan kemampuan ekonomi.
Kegiatan keagamaan pun tidak lepas dari yang namanya serangan bom plastik. Sudah banyak contohnya, salah satunya yang saya alami sendiri. Saat hari Jumat, saya mengadiri ibadah wajib mingguan ini di sebuah masjid jami yang ramai. Saat naik ke lantai dua, terlihat bagian belakang saf masih masih sibuk dengan hape mereka, sedangkan khatib sedang menyampaikan khutbah. Padahal sudah diperingatkan oleh bilal, dilarang berbicara saat khatib menyambaikan khutbah sekalipun menegur untuk diam, tapi mereka tetap chat melalui bom plastik. Sudah diperingatkan juga untuk meninggalkan jual beli saat sholat Jumat dalam surah Al-Jumuah, tapi ada saja yang masih chekout melalui toko online saat itu.
Setelah dilihat ke arah mimbar, ternyata khatib juga menyampaikan khutbah dengan melihat hape.
Satu masjid terkena bom plastik.