Kiai Adalah Ayah, Pesantren Adalah Rumah: Refleksi Hari Santri Nasional 2024

Akan selalu ada yang keliru, kalau bukan cemburu, saat orang bicara soal santri. Baru-baru ini, seorang pesohor di negeri youtube, sosok tambun yang mencitrakan diri sebagai setengah intelektual dan setengah ustaz, serta menyebut dirinya sendiri sebagai Guru, mencemooh kalangan santri sebagai sekelompok orang yang tak sanggup mandiri; tak mampu berdiri sendiri.

Seraya mencoba untuk ber-husnu zhon, saya berupaya untuk memahami nalar sang guru. Ah iya, mungkin saja ia berpikir demikian setelah melihat sikap para santri yang seperti selalu bergantung kepada Kiai. Ditanya mau kemana? Jawabnya, ikut kiai. Ditanya kenapa melakukan itu? Jawabnya, karena perintah Kiai. Ditanya kapan kawin? Jawabnya, pokoke nderek Kiai. Demikianlah, semua serba Kiai. Bahkan jikapun Kiai memerintahkan untuk tidak selalu turut saja pada apa yang dikatakannya, itu pun mereka lakukan karena memang perintah Kiai.

Dari sinilah barangkali kemudian citra atau stigma atawa stereotype negatif itu muncul. Bahwa, santri hanya bisa mem-bebek (bertindak laiknya bebek). Santri tidak cukup punya sikap kritis. Dan tentu saja, santri tidak sanggup hidup mandiri. Mereka hanya bisa bergantung kepada Kiai.

Masalahnya, yang tak banyak sang guru atau orang lain di luar sana tahu adalah bahwa sikap para santri ini sebetulnya bukanlah pilihan yang tak beresiko. Alih-alih ekspresi dari ketidakmandirian, sikap untuk senantiasa tabik kepada Kiai ini pada dasarnya adalah tirakat (semacam riyadhah untuk mendewasakan aspek ruhaniyyah mereka).

Kenapa tirakat? Sebab, jujur sejujurnya, dengan selalu mengikuti dawuh kiai, para santri ini sebetulnya ngempet (bahasa jawa dari menahan diri). Betapa tidak? Saat, orang lain di luar sana bisa dengan enak saja nonton film-film terbaru di bioskop, para santri ini untuk keluar dari gerbang pondok saja mesti izin Kiai atau wakilnya. Saat orang lain hampir tiap pekan bisa healing-healing cantik, ini para santri malah wajib ro’an (bersih-bersih lingkungan pesantren) tiap liburan. Saat orang lain enak saja pacaran, kawin mawin, dan gonta-ganti buku nikah, para santri ini boro-boro pamit kawin, lha wong untuk izin boyong (pulang dari pesantren) saja ngeri-ngeri sedap.  “Nunggu dawuh Kiai saja!” kata mereka.

Yang begini tentu bukan lahir dari ketiadaan sikap kritis atau ketidakmampuan hidup mandiri. Bisa dibuktikan, ketika para santri ini “lepas dari kandang”, mereka akan dapat hidup di mana saja, dan dalam kondisi apa saja. Sebab hampir segala kepahitan hidup telah mereka jajal di pesantren; bagaimana duit sudah habis tapi kiriman tak datang-datang, bagaimana sabetan sarung membuat mereka mesti terus terjaga di subuh yang dingin, bagaimana gojlokan atau gojekan (yang barangkali hari-hari ini kerapkali diterjemahkan sebagai bulliying) adalah hal yang lumrah saja.

Hal-hal macam inilah yang membuat para santri ini kemudian tak pernah mengeluh ketika pada saat ia mengajar di sebuah sekolah kecil di kampung terpencil, ia hanya dihadiahi bisyarah (gaji) 150 ribu sebulan. Juga hal-hal macam inilah yang membuat mereka tetap kukuh bertahan setelah bertubi-tubi diserang oleh para pembenci yang menghambat jalan mereka berdakwah di tengah-tengah masyarakat. Bahkan bisa jadi, dipukuli berkali-kali sekalipun, para santri masih akan tetap sanggup ketawa-tawa. Sudah jadi wacana umum di dunia pesantren, santri yang masih punya rasa sakit hati, apalagi saat menghadapi warna-warna resepsi dari masyarakat, adalah santri yang kurang ngopi.

Karenanya, dalam hal bahwa santri bersikap “mati urip nderek kiai” (hidup mati ikut Kiai), ini juga merupakan bagian dari tirakat. Ya, tirakat adab, dimana para santri menunda pendapatnya sendiri atau bahkan kepentingannya sendiri demi mengikuti apa yang dianggap baik oleh Kiai dan Bu Nyainya, berdasarkan keyakinan betapa pilihan-pilihan dari orang yang berilmu tentu saja lebih afdhal ketimbang pilihannya sendiri yang acapkali hanya disandarkan pada penalaran cupet (sempit)-nya sendiri, atau tidak jarang hanya berdasarkan hawa nafsunya belaka. Sampai-sampai kalau dawuh Kiai berselisihan dengan kehendak orang tua mereka, para santri akan lebih mendahulukan Kiai-nya.

Sikap-sikap ini sebetulnya dapat dilacak asal muasalnya pada naskah-naskah paedagogis klasik seperti dalam Ta’lim al-Muta’allim, dimana Syeikh al-Zarnuji berkata:

 أقدم أستاذ على نفسى والدى*وإن نالنى من والدى الفضلى والشرف

 Aku mendahulukan guru ketimbang diri dan orang tuaku, sekalipun aku memperoleh kemuliaan dari orang tuaku.”  

Dengan demikian, orientasi para santri ini sungguh terang benderang, yakni mengejar kebermanfaatan, yang bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Keselamatan, bukan saja di alam fana, tetapi juga di akhirat yang baka. Maka tidak mengherankan apabila pertimbangan-pertimbangan dalam hidup mereka tidak melulu berkutat pada pikiran pribadi (yang acapkali dianggap sebagai wujud dari kemandirian), tetapi juga menimbang bagaimana dalil qurannya, penjelasan hadisnya, ibarah kitabnya, dimana semua ini terepresentasikan dalam satu persona Kiai.

Tetapi tentu saja, sekali lagi, ini bukan berarti para santri tidak memiliki pendapatnya sendiri, apalagi kemampuan untuk hidup mandiri. Mereka punya semua itu, tidak diragukan lagi, tetapi mereka menundanya demi adab (tata krama). Kalaupun pada akhirnya mereka harus berbeda dengan Kiai, mereka akan tetap memilih untuk melakukannya di jalur adab.

Sampai di sini, bahkan kalau saja ada santri yang kemudian emoh untuk patuh pada Kiai-nya (dengan alasan kemandirian atau yang lain), hal itu tidak akan mengurangi kasih sayang Kiai kepada para santri. Doa-doa mereka senantiasa meluber kepada anak-anak ruhaninya itu, semata-mata mengharapkan kebaikan (‘afiyah) untuk mereka dunia akhirat.          

Karenanya diriwayatkan, suatu kali rombongan masyayikh Lirboyo diberi pertanyaan dalam sebuah pertemuan alumni, “Apakah santri yang boyong karena dikeluarkan (pelanggaran), masih tetap diakui sebagai santri?” Para Kiai yang hadir di sana bergeming, saling bertatapan satu sama lain, saling menolak dan mempersilahkan yang lain untuk menjawab. Di tengah suasana yang awkward itu, Kiai Idris Marzuki mengambil alih. “Kalau ia (santri) itu sudah bertaubat, maka ia tetap santri.”

 Di tempat lain, dan pada momentum yang berbeda, salah seorang senior menceritakan pesan Kiai kami saat ia pamit kembali ke rumah, “Boyong ini jangan pernah diniatkan untuk pergi. Di manapun nanti kamu berada, masalah apapun yang nanti kamu hadapi, kembalilah ke sini. Pesantren ini adalah rumahmu.”

 Wallahu a’lam bis shawab.

Pemintal Aksara

Posting Komentar